Berkenalan Dengan Filantropi Islam

Oleh: Ali Ruhiyat (Bendahara Lembaga Filantropi PB PMII)

Pernahkan mendengar kata Filantropi? Dimana kah tepatnya melihat dan mendengar kata Filantropi? Barangkali sebagian masyarakat masih terasa asing mendengar kata tersebut, bahkan mungkin ada beberapa khalayak masyarakat yang baru mendengar atau bahkan tidak tau apa itu filantropi. Karena memang sepertinya filatropi belum terdengar familiar di telinga masyarakat Indonesia. Meskipun tidak menutup kemungkinan ada segelintir masyarakat yang sudah mengetahui tentang Filantropi.

Sekarang, kembali melemparkan pertanyaan, tahu kah tentang zakat, infak, sedekah, hibah, dan hadiah? Apa yang terlintas ketika mendengar istilah tersebut? Pernah kah mendengar kata tersebut? Atau tahu kah arti dan konsep dari masing-masing kata tersebut? Sepertinya masyarakat Indonesia kebanyakan sudah mengetahui arti dan istilah dari kata yang barusan dilontarkan. Karena barangkali kata-kata tersebut sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Bahkan bisa saja sudah banyak masyarakat yang menerapkan konsep dari masing-masing istilah tersebut. Padahal, jika ditelaah lebih dalam akar teoretis dan konsep, filantropi adalah kegiatan yang didalamnya terdapat beberapa konsep seperti zakat, infak, sedekah, hibah, dan hadiah.

Pada masa awal Islam, kata ‘Filantropi’ merupakan istilah yang tidak dikenal bahkan belum ada istilah tersebut. Meskipun belakangan ini, sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Kata ‘Filanropi’ kadang-kadang disebut al-‘ata’ al-ijtima’i (pemberian sosial), adakalanya juga dinamakan al-takaful al-insani (solidaritas kemanusiaan) atau bisa juga ‘ata khayri (pemberian untuk kebaikan). Namun, istilah seperti al-birr (perbuatan baik) atau as-sadaqah (sedekah) juga digunakan (Ibrahim, 2008).

Secara bahasa, Filantropi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata; philos yang berarti cinta, dan anthropos yang berarti manusia. Dengan begitu, Filantropi bermakna cinta kepada sesama manusia dalam artian peduli pada kondisi manusia lainnya. Adapun aksi dari Filantropi ini kemudian diwujudkan dengan perilaku dermawan dan kecintaan pada sesama.

Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sesuai dan sepadan dengan filantropi adalah “kedermawanan sosial”, istilah ini sebenarnya hampir sama tidak populer di telinga masyarakat kebanyakan yang lebih paham dengan istilah dan praktek seperti zakat, infak, sedekah, hibah, dan hadiah. Namum, istilah filantropi dipakai karena memiliki ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang terprogram dan ditujukan untuk pengentasan sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang (Linge, 2015). Seperti dengan cara tidak memberikan buah segar tetapi memberikan benih dan akses keadilan untuk mengelola lahannya.

Dewasa ini, filantropi memiliki sejumlah tujuan yang tidak semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga bersifat sosial dan politis. Misalnya, ada lembaga filantropi yang memiliki sasaran hanya pada layanan sosial (social services), dengan keyakinan bahwa memberikan layanan, beban kemiskinan masyarakat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Sementara itu, ada juga lembaga filantropi yang bergerak dalam perubahan sosial (social change), dengan menjadikan keadilan sosial (social justice) sebagai tujuan utamanya (Sulek, 2010). Dengan kata lain, kedua model filantropi ini menghendaki kehidupan sosial yang lebih baik dengan melicinkan jalan bagi perwujudannya melalui sejumlah pemberdayaan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya.

Sebetulnya, secara praktik, filantropi sebagai salah satu modal sosial telah menyatu sejak lama dengan kultur komunal masyarakat Indonesia. Sering kita melihat praktik-praktik kedermawanan yang dilakukan oleh masyarakat kepada masyarakat lainnya. Meskipun yang kurang adalah pemahaman teoretis di masyarakat mengenai filantropis itu sendiri. Apalagi jika melihat negara Indonesia dengan mayoritas penduduknya muslim, pastinya sudah sering menginternalisasikan praktik filantropi kedalam kehidupannya karena praktik tersebut sudah dianjurkan dalam ajaran agama Islam seperti praktik zakat, infak, sedekah, wafak, dan lainnya yang merupakan bagian dari praktik filantropi.

Islam secara inheren memiliki semangat filantropis. Hal tersebut dapat ditemukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang menganjurkan bahkan mewaibkan umatnya agar berderma. Seperti yang tercantum dalam Surah Al-Baqarah: 215


125. Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".

Selain ayat Al-Qur’an, ditemukan juga hadist Nabi Muhammad SAW dalam HR. At-Thabarani:

“Perbuatan baik itu menjadi penghalang bagi jalannya keburukan, sedekah sembunyisembunyi dapat memadamkan amarah Tuhan, silaturahim dapat memperpanjang umur, dan setiap kebaikan adalah shadaqah. Pemilik kebaikan di dunia adalah pemilik kebaikan di akhirat, dan pemilik keburukan di dunia adalah pemilik keburukan di akhirat, dan yang pertama masuk surga adalah pemilik kebaikan” (HR. At-Thabarani).

Khusus dalam masalah ekonomi, lembaga filantropi dibeberapa negara muslim sudah mengalami perkembangan yang signifikan. Seperti di Indonesia yang sudah memiliki lembaga filantropi yang mengelola zakat, infak, sedekah yaitu Badan Amil Zakat Nasioan (BAZNAS) yang merupakan badan resmi dan satu-satunya yang dibentu oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001 yang mana Baznas sendiri memilik tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infak, sedekah (ZIS) pada tingkatan nasional.

Kemudian, lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat semakin memperkuat legitimasi Baznas sebagai lembaga filantropi yang mempunyai wewenang mengelola zakat, infak, sedekah secara nasional. Jika ditelaah lebih jauh, UU tersebut menjelaskan bahwa Baznas merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Maka dari itu, Baznas bersama Pemerntah bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan zakat yang berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas.

Selain adanya lembaga filntropis yang dibentuk oleh pemerintah, di Indonesia juga ada lembaga filantropi yang dibentuk oleh organisasi masyarakat Islam, sepertin LAZISNU yang dibentuk oleh NU, LAZISMU yang dibentuk oleh Muhammadiyyah, dan masih banyak lagi lembaga filantropi yang ada di Indonesia, baik yang teraafiliasi oleh organisasi masyarakat keagamaan ataupun yang tidak.

Adapun perkumpulan filantropi yang menghimpun lembaga-lembaga filantropi yang ada di Indonesia disebut sebagai Filantropi Indonesia. Filantropi Indonesia sendiri adalah lembaga nirlaba dan mandiri yang dimaksudkan untuk memajukan filantropi di Indonesia agar bisa berkontribusi dalam pencapaian keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Filantropi Indonesia dimaksudkan untuk memajukan kepentingan para pelaku filantropi, baik yang berasal dari sektor pemberi, pengelola/penyalur/perantara, maupun penerima bantuan, atas dasar prinsip kemitraan, kesetaraan, keberagaman, keadilan, universalitas filantropi dan kebangsaan Indonesia (filantropi.or.id).

Berbicara masalah potensi filantropi di Indonesia sebetulnya sangat besar, akan tetapi dalam realisasinya masih belum bisa maksimal. Seperti dilansir dari CNBC Indonesia, ketua Baznas, Noor Ahmad memperkirakan potensi Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf (ZISWAF) di Indonesia mencapai lebih dari Rp. 500 triliun. Sebanyak Rp. 327 triliun zakat, Rp. 187 triliun wakaf. Adapun target ZISWAF pada tahun 2021 ini diperkirakan mencapai Rp. 15 triliun. Dari potensi yang besar tersebut, hanya sekitar 5 persen yang bisa diserap dari total potensi yang ada.

Dengan potensi yang cukup besar ini, tentunya lembaga filantropi diharapkan bisa menjadi solusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena lembaga filantropi ini begerak dalam pembangunan sosial dan keadilan sosial yang merupakan bentuk kedermawanan dalam upaya mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi.

Dalam proses pengorganisasian filantropi, ada tiga aspek fundamental yang harus ada dalam setiap lembaga Filantropi; yaitu aspek fundraising (penghimpunan), Pengelolaan, dan Pendayagunaan dan Pentasyarufan/Pendistribusian.

Fundraising merupakan proses menghimpun atau mengumpulkan kontribusi sukarela dalam bentuk uang atau sumber daya lain dengan meminta sumbangan dari individu, perusahaan, yayasan, atau lembaga pemerintah. Metode fundraising pun ada banyak cara yang bisa dilakukan. Akan tetapi ada dua jenis strategi fundraising yang sering dilakukan oleh lembaga-lembaga filatropi yaitu direct fundraising (penghimpunan langsung) dan indirect fundraising (penghimpunan tidak langsung). Fundraising secara langsung adalah teknik-teknik atau cara-cara yang melibatkan partisipasi secara langsung, yaitu bentuk-bentuk fundraising di mana proses interaksi dan daya akomodasi bisa seketika (langsung) dilakukan. Sedangkan fundraising tidak langsung adalah teknik-teknik atau cara-cara yang tidak melibatkan partisipasi secara langsung, yaitu bentuk-bentuk fundraising tanpa memberikan daya akomodasi langsung.

Selain daripada proses penghimpunan dana yang dilakukan oleh Lembaga Filantropi, juga ada proses pengelolaan dana-dana atau sumbangan yang masuk kepada lembaga filantropi tersebut dengan pengelolaan yang mengedepankan asas akuntabel, transparan, dan profesional agar dana yang masuk bisa dikelola sedemikian baiknya sehingga menonjolkan citra baik di masyarakat bagi lembaga filantropi tersebut.

Selanjutnya adalah proses Pendayagunaan dan pentasyarufan/pendistribusian, dimana proses pendayagunaan dana-dana atau sumbangan yang dikelola tersebut, selanjutnya didayagunakan secara terintegrasi, terstruktur, dan terorganisir dengan menyesuaikan dari visi misi dari lembaga filantropi tersebut.

Ada banyak cara pendayagunaan dana atau sumbangan yang masuk ke sebuah lembaga filantropi tersebut, semisal pendayagunaan untuk aspek keagamaan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, Kemanusiaan/kebencanaan, dan seni budaya. Akan tetapi ini disesuaikan lagi sesuai dengan skala prioritas masing-masing lembaga filantropi. Dalam proses pendayagunaan juga, lembaga filantropi mulai membuat formulasi terkait program kerja yang akan dilakukan dengan mengacu pada aspek-aspek pendayagunaan yang ada.

Adapun proses pentasyarufan ini berasal dari dana atau sumbangan yang diterima oleh lembaga filantropi yang telah dikelola dan sudah ada pengalokasiannya. Pentasyarufan ini adalah proses paling penting dalam lembaga filantropi karena sudah tentu jelas dana atau sumbangan yang masuk ke dalam lembaga filantropi tersebut harus didistribusikan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan aspek dan program kerja yang telah ditetapkan oleh masing-masing lembaga filantropi.

Karena dengan adanya pentasyarufan ini, selain daripada sudah menjadi kewajiban, juga merupakan portofolio lembaga itu sendiri agar mendapatkan kepercayaan dari para donatur yang memberikan sumbangan dan juga dari masyarakat sebagai penerima manfaat.

Ada dua jenis pentasyarufan yang bisa dilakukan oleh lembaga filantropi; pentasyarufan berupa bantuan secara langsung, dan pentasyarufan berupa bantuan yang berkelanjutan. Bantuan secara langsung yaitu sebuah bantuan yang berikan secara langsung baik berupa uang ataupun sumber daya lainnya yang diberikan hari itu dan langsung diterima manfaatnya oleh masyarakat, atau bisa juga dialokasikan kepada hal-hal mendesak dan mendada seperti bantuan kemanusiaan dan kebencanaan.

Sedangkan bantuan yang berkelanjutan adalah sebuah bantuan yang memang berjangka dan bertahap dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan hajat hidup masyarakat dengan cara menciptakan kemandirian ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang tidak bisa dilakukan hanya satu kali tetapi harus dilakukan berulang kali sampai tujuan itu tercapai.

Pengelolaan yang profesional di lembaga filantropi sangat erat kaitannya dengan keberhasilan dan kesuksesan ideologi filantropi sebagai sabuah prilaku kedemawanan secara sosial yang dapat meningkatkan keadilan pada masyarakat serta menghilangkan ketimpangan sosial dan kesenjangan sosial di masyarakat. Sehingga sistem manajemen dalam mengelola lembaga filantropi ini menjadi indikator sukses atau tidaknya lembaga dalam mewujudkan ideologi filantropi tersebut.

Referensi

Ibrahim Barbara. (2008) From Charity to Social Change: Trends in Arab Philanthropy, Kairo: American University in Cairo Press

Linge Abdiansyah. (2015) Filantropi Islam Sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi, Jurnal Perspektif Ekonomi Darussalam, Vol. 1, No. 2, September 2015.

Sulek Marty, (2010)‚On the Modern Meaning of Philanthropy, Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 39:2.

https://filantropi.or.id/tentang-kami/sejarah/, diakses 16 Maret 2022 pukul 19.17 WIB

https://www.cnbcindonesia.com/news/20210503115816-4-242645/baznas-potensi-ziswaf-rilebih-dari-rp-500-triliun, diakses 16 Maret 2022 pukul 20.51 WI

61 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *