Sebagai kader PMII, membaca ulang literatur yang
memuat dinamika pemikiran tokoh muda NU sekaligus alumni PMII adalah kepuasan
tersendiri. Sebagai organisasi gerakan dan organisasi kaderisasi, PMII terus
memberikan warna berbeda diantara organisasi mahasiswa lain yang juga eksis di
Indonesia. Perbedaan tersebut dapat kita lihat dari cara PMII menanamkan
ideologi kebangsaan yang cukup kuat, demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nilai keislaman dan keindonesiaan yang dikembangkan
PMII tidak terlepas dari atmosfir warga bangsa dalam merespons isu keberagaman
dan keagamaan, terutama berkaitan dengan agama Islam sebagai agama mayoritas di
negeri ini. Salah satu buku yang cukup laik dibaca yakni Harakatuna:
Menebar Gerakan Kritis di Pasar Kebebasan karya Sultonul Huda.
Meskipun buku ini merupakan catatan reflektif atas pergulatan intelektual
dan pengalaman penulis sebagai pengurus PMII, saya meyakini bahwa buku ini
layak menjadi rujukan utama bagi pengurus PMII -mulai dari level rayon hingga
pengurus besar dalam merumuskan arah dan gerak organisasi.
Buku ini mampu menghadirkan refleksi yang nyata
bagi pembaca sekaligus tawaran solusi strategis bagi organisasi. Cak Sulton,
sapaan akrab Sultonul Huda, dalam buku ini mencoba menjelaskan bagaimana
peristiwa sosial politik terdahulu merupakan aset dan investasi penting bagi
PMII untuk dapat merumuskan arah gerak organisasi. Menggunakan konsep paradigma
kritis ala Neo-Marxis seperti Mazhab Frankfurt atau Frankfurt
School, penulis berusaha menjelaskan relasi konsep tersebut dengan
upaya PMII untuk terlibat aktif dalam dinamika sosial di Indonesia. Lebih
lanjut lagi, penulis secara detail memaparkan bagaimana PMII dapat menjadi
motor gerakan sosial tanpa meninggalkan jati diri dan identitas PMII
sebagai Nahdliyin muda.
Diskursus ini diawali dengan uraian tentang
tantangan realitas kebangsaan pasca rezim Orde Baru. Penulis menyampaikan bahwa
meskipun reformasi sudah berlangsung dengan lengsernya otoritarianisme Orde
Baru, transisi politik demokratis terjadi sangat lambat. Meminjam istilah dari
Harold Crouch (2010), reformasi Indonesia adalah reformasi yang tak rata
atau uneven reform, dimana reformasi hanya terjadi pada
lahirnya institusi demokrasi, tidak pada budaya dan perilaku politik yang
demokratis. Hal ini merujuk pada masih banyaknya kroni dan antek Soeharto yang
menempati posisi-posisi penting dalam kepemimpinan nasional hingga kini (hlm
16). Merespon realita tersebut, kelompok strategis dan gerakan ekstra
parlementer pro reformasi termasuk PMII mempunyai peran sentral untuk melakukan
kampanye dan propaganda untuk menghilangkan keburukan dan sisa-sisa Orde Baru.
Dengan potret kaderisasi PMII yang semakin bervariatif (tidak hanya ilmu agama
dan humaniora, melainkan sains dan teknologi), kader PMII merupakan modal
penting dalam menyusun gerakan kolektif di masa depan.
Pentingnya Paradigma Kritis
Cak Sulton pada bagian kedua dari buku
ini mencoba menjelaskan secara rinci sejarah epistemik dari paradigma kritis
dan berupaya mengusulkan konsep tersebut sebagai landasan gerak PMII. Penulis
nampak sangat fasih dalam menjelaskan paradigma kritis dan
signifikansinya bagi gerakan PMII. Tidak hanya seorang pemikir, Cak Sulton adalah
aktor langsung dalam kepengurusan organisasi PMII. Ia tercatat menjadi pengurus
di dua masa kepemimpinan PB PMII, yakni periode Sahabat A. Muhaimin Iskandar
(1994-1997) dan Sahabat Syaiful Bahri Ansori (1997-1990). Secara sederhana,
penulis menjelaskan teori kritis sebagai respon dan kritik terhadap dominasi
positivisme terhadap ilmu pengetahuan seperti ekonomi, sosiologi, dan filsafat
yang melenceng dari fitrahnya untuk banyak berpihak kepada manusia (antroposentrisme).
Sebagaimana dijelaskan oleh Max Horkheimer, teori kritis adalah upaya untuk
membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka. Teori kritis mencoba
membongkar terhadap dominasi dan hegemoni yang membelenggu kebebasan manusia.
Dengan kecurigaannya terhadap adanya pengaruh relasi kuasa sisa Orde Baru dalam
proses sosial saat ini, Penulis berharap dengan menggunakan pendekatan teori
kritis, PMII dapat berperan dalam mengungkap agenda dan kepentingan tersembunyi
dalam ilmu pengetahuan dan situasi sosial-politik-ekonomi pasca reformasi yang
justru mengalienasi dan menindas masyarakat.
Penulis mengajukan dua alasan mengapa
PMII harus menggunakan pendekatan kritis dalam langkah geraknya. Dalam
konteks internal, paradigma kritis menjadi konsep yang tepat untuk
memahami realita sosial. Menggunakan konsep kategori imperatif dari Marx,
penulis melihat bahwa teori kritis dapat menjadi alat untuk memahami maksud,
arah, dan kepentingan dari masyarakat dan aktor politik. Teori kritis hadir
untuk membongkar relasi kuasa dalam interaksi sosial yang seringkali merugikan
masyarakat lemah. Meminjam istilah Freire, kesadaran kritis perlu ada untuk
menemukan kaidah-kaidah kausal dalam tingkah laku sosial. Lainnya, paradigma
kritis perlu untuk menghadirkan relasi antara praktik sosial dengan teori
sosial.
Alasan eksternal menyebutkan bahwa
guna merespon potensi lahirnya konflik di masyarakat Indonesia, penggunaan
paradigma kritis dalam gerakan akan mampu menghadirkan prinsip egaliter.
Warisan kolonialisme dan hegemoni Orde Baru yang masih ada di Indonesia
mengakibatkan hilangnya ruang-ruang publik. Reformasi yang ditandai dengan
desentralisasi kekuasaan justru menimbulkan paradoks. Penulis nampaknya sepakat
dengan tesis Vedi Hadiz (2004) yang menyimpulkan bahwa proses desentralisasi
Indonesia telah dibajak oleh kelompok kepentingan dan pemodal. Masyarakat
semakin lemah, teralienasi dan termarjinalisasikan. Hal ini diakibatkan oleh
banyaknya sektor-sektor strategis yang dikuasai oleh para oligarkis, bukan
masyarakat pada umumnya.
Situasi di atas mendorong PMII perlu hadir dalam
ruang-ruang pemberdayaan sebagai bentuk kritik dan pemberontakan terhadap
negara yang hegemonik. PMII harus mampu menjadi pembaharu dan berpegah teguh
pada prinsip al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil
ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru
yang lebih baik). Kecenderungan berpihak pada kondisi status quo semakin
menjadikan massa kritis seperti NU dan PMII akan terpinggirkan. Lebih lanjut
lagi, tantangan bagi PMII adalah kemampuan untuk adaptasi dengan keadaaan.
Sebagai organisasi mahasiswa Islam, PMII mempunyai kewajiban untuk menjadi
solusi atas banyaknya fenomena politisasi agama dan ketidaktahuan masyarakat
akan hal itu. Paradigma kritis dilakukan dengan pembongkaran ideologi guna
membebaskan manusia dari belenggu dogma agama yang bersifat profan dan perlu
untuk diinterpretasikan kembali dalam konteks yang sesuai dengan kepentingan
manusia dan perkembangan zaman. Agama harus dikembalikan ke posisi aslinya agar
tidak dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Bagaimana membangun Mekanisme Gerakan Kritis ala
PMII ?
Sebagai anak “kultural” dari NU,
sikap kritis PMII seringkali menimbulkan pro-kontra. Ketika berbeda pendapat
dan sikap terhadap organisasi NU, kritisisme PMII dianggap bentuk
ketidakpatuhan PMII terhadap “orang tua”-nya. Penulis secara
objektif menjelaskan bahwa perlawanan terhadap kekuatan hegemonik tidak hanya
ditujukan kepada penguasa saja. Jika hal tersebut dilakukan juga oleh NU, maka
PMII juga harus melakukan hal itu untuk tetap menjadikan PMII sebagai
organisasi yang independen dan kritis.
Cak Sulton berada pada pendirian bahwa
gerakan kritis tidak berkaitan dengan tata cara kerja struktur organisasi,
melainkan sebagai upaya membangun pengetahuan dan kesadaran bersama, sehingga
gerakan intelektual PMII akan secara alami berjalan. Penulis buku menawarkan
solusi bagaimana PMII dapat membangun gerakan kritis, yaitu: memperkuat
ideologi gerakan, membangun desentralisasi gerakan, menguatkan kemampuan
resolusi konflik, memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi, dan memperluas
gerakan PMII di level internasional. Dalam perspektif saya sebagai
pembaca, terdapat tiga hal menarik yang sekiranya perlu kita sorot lebih
mendalam.
Pertama adalah desentralisasi gerakan (hlm 66). Strategi desentralisasi gerakan,
menurut saya, merupakan gagasan kontekstual yang sangat cerdas. Desentralisasi
menjadi hal penting untuk membangun pemerataan dan kontekstualisasi gerakan..
Dengan variasi sumber daya kader berkualitas, saya membayangkan bahwa PMII
menjadi motor gerakan di perguruan tinggi (kampus), daerah, hingga level
nasional dengan konsen dan isu yang lebih relevan dengan lokalitas daerah.
Misalkan, pengurus dan kader PMII di Sumatera dan Kalimantan mempunyai fokus
isu dan gerakan pada advokasi lingkungan, tambang, dan pemberdayaan masyarakat
lokal. Di Jawa, PMII akan fokus pada isu sosial politik. Lainnya, PMII di
Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku hingga Papua mempunyai fokus gerakan pada
pembangunan, pendidikan, dan pemberdayaan lingkungan. Dengan ini, organisasi
PMII dari PKC hingga rayon mempunyai fungsi strategis dalam pemberdayaan
masyarakat guna mewujudkan political equality, accountability,
dan responsiveness. Lainnya, secara administratif desentralisasi
gerakan berupaya untuk meminimalisir kemacetan organisasi di
pusat (Jakarta).
Kedua adalah pemanfaat teknologi dan informasi (TI). Kemajuan zaman yang
ditandai dengan adanya perkembangan TI merupakan potensi besar yang harus
dimanfaatkan oleh PMII. Tidak hanya mempermudah organisasi dalam melakukan
kerja-kerja administratif (pendataan anggota, dsb), kemajuan TI bisa
menjadi tools strategis untuk membangun basis gerakan dan
kampanye isu dengan mudah, efektif, dan mampu menjangkau target lebih luas.
Menggunakan sosial media, misalkan, akan mempermudah PMII menyampaikan gagasan
dan ide organisasi kepada kader, anggota, alumni, dan kelompok kepentingan
seperti pemerintah, pejabat politik, kelompok bisnis, dan sebagainya. Sosial
media juga dapat menjadi upaya korektif atas kinerja pemerintahan. Ketiga adalah
memperluas gerakan PMII di level internasional. PMII tercatat mempunyai
pengalaman dalam menginisiasi gerakan pemuda internasional PMII aktif menjadi
bagian dan inisiator agenda-agenda internasional. Sebagai contoh, seperti
inisiator ASEAN Youth Leader Forum di Jakarta pada tahun
2002, ASEAN Plus 8 Youth Assembly tahun 2013 di Jakarta, dan
mewakili Indonesia dalam program 1000 Abrahamic Circles di AS
dan Serbia pada 2019. Globalisasi PMII nampaknya mulai harus menjadi porsi
utama dari gerakan strategis PMII. Hal ini mengingat situasi global dan kawasan
dalam politik internasional yang sangat dinamis. Sebagai organisasi mahasiswa
Islam, PMII dapat menjadi inisiator organisasi-organisasi pemuda Islam
internasional untuk mengkampanyekan isu-isu perdamaian di kawasan dan global.
Lainnya, PMII dapat bermitra dengan pemerintah untuk menjadi aktor dalam
diplomasi politik, ekonomi, dan sosial melalui kerjasama dengan pihak terkait.
Gerakan Kritis sebagai Strategi
Di akhir diskusi dalam buku ini, penulis menawarkan
tiga pola gerakan kritis yang dapat diadopsi oleh PMII. Gerakan kritis dapat
dilakukan dengan tiga strategi, yaitu evolusi, akulturasi, dan transformasi.
Sebagai organisasi yang berangkat dari kultur tradisional, gerakan paradigma
kritis dilakukan melalui pendekatan komunal, pendekatan yang mengedepankan
kebersamaan kader, anggota dan alumni. Dengan diaspora PMII yang luas, gerakan
bertahap (evolutif) ini tentu pada akhirnya akan membentuk kesadaran
penuh dan terwujudnya masyarakat mutamaddin (madani). Dalam
konteks organisasi, strategi akulturasi dapat dilakukan dalam
penguatan internal organisasi untuk kemudian melakukan proses dialog antar dan
inter-tradisi. Lainnya, strategi transformasi merupakan
strategi PMII untuk mampu mengejawantahkan doktrin organisasi ke dalam
kehidupan konteks profan. Misalkan, PMII dapat mendorong pemerintah untuk
melakukan pemerataan ekonomi dan keadilan politik bagi semua masyarakat
Indonesia, tanpa terkecuali. Tentu ini selaras dengan ajaran Islam tentang
keadilan.
Gerakan kritis juga harus mempunyai target dalam
aksinya. Mengacu pada fakta historis masa lalu, gerakan kritis oleh PMII tentu
bertujuan untuk menciptakan situasi politik yang open, equal, dan participatory. Keterbukaan
akan membawa kepada masyarakat yang berpandangan luas, terlepas dari dogma dan
doktrin yang eksklusif, dan menerima akan adanya pengaruh dari luar. Lainnya,
perjuangan akan kesetaraan sebagai perjuangan PMII akan memunculkan
pemberdayaan kepada sesama. Selanjutnya adalah gerakan untuk memperjuangkan
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan bangsa. Partisipasi masyarakat
menjadi penting untuk mewujudkan efektivitas pembangunan bagi masyarakat.
Pembangunan yang partisipatoris akan memunculkan kesetaraan antar warga negara,
dan masyarakat menjadi subjek aktif dalam pembangunan. Dalam mencapai target di
atas, PMII dapat secara aktif mengajak kelompok-kelompok strategis lainnya
(Organisasi Pemuda, Akademisi, aktor politik) dan masyarakat pada umumnya untuk
membangun gerakan kolektif. Gerakan kritis dapat dilakukan dengan beberapa
metode, yaitu non-violence, konfrontatif, dan kooperatif.
Metode gerakan tentu dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan kemampuan
organisasional PMII.
Buku ini menyajikan merupakan sebuah gagasan besar
bagi PMII sebagai organisasi gerakan. Akan tetapi, terdapat beberapa catatan
terkait buku ini. Pertama, penulis masih belum konsisten dalam
penggunaan dan penulisan istilah asing untuk menjelaskan konsep-konsep gerakan
kritis. Kedua, pemaparan konsep tentang paradigma dan strategi
kritis belum secara jelas diungkap oleh penulis. Hal ini menjadikan adanya
celah dalam operasionalisasi konsep paradigma kritis dalam gerakan PMII. Ketiga, perlu
kiranya dalam menjelaskan PMII sebagai organisasi gerakan, buku ini sewajarnya
juga memaparkan fakta historis PMII selama Orde Baru yang dalam konteks ini
digunakan sebagai titik mulai pembahasan.
Peresensi: Muh Afit Khomsani, Mahasiswa
Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan pengurus Bidang Hubungan Luar
Negeri dan Jaringan Internasional Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PB PMII)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Identitas Buku
Judul : Harakatuna: Menebar Gerakan Kritis di
Pasar Kebebasan
Penulis
: Sultonul Huda
Penerbit
: Wacana, Yogyakarta
Jumlah Halaman : 132
Tahun Terbit : 2000
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------