PPATK Jelaskan Problematika Penanganan Harta Tidak Wajar Pejabat

Jakarta, PMII.ID-Beberapa bulan terakhir, pejabat negara dan keluarganya mendapatkan perhatian dari masyarakat luas. Hal ini melihat aktivitas mereka di media sosial yang menunjukan hedonisme yang mengindikasikan adanya harta tidak wajar yang dimiliki pejabat negara tersebut.

Dalam istilah hukum, fenomena ini disebut sebagai Illicit enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara tidak wajar. Karena seluruh kekayaan yang diperoleh pejabat negara harus berkaitan dengan kerja-kerja dia sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam praktiknya belum sepenuhnya semua pejabat yang diduga memiliki harta tidak wajar dapat dipidanakan, sebab Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia belum mengkategorikan kekayaan tidak wajar sebagai sebuah kejahatan.

Analis Transaksi Keuangan Bidang Hukum pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Abdal Yanwar mengatakan, PPATK telah memberikan dua rekomendasi terkait harta tidak wajar bagi pejabat negara. Menurut dia, salah satu rekomendasi PPATK yaitu mendorong agar UU Tipikor mengintrodusir beberapa kejahatan yang masuk kategori kejahatan tipikor dalam perspektif global seperti harta tidak wajar pejabat negara, agar dimasukan sebagai kategori kejahatan tipikor.

Rekomendasi kedua yaitu memasukan masalah harta tidak wajar pada Rancangan Undang-undang Perampasan Aset yang saat ini masih berproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).  Abdal menjelaskan, di dalam naskah RUU Perampasan Aset  per November 2022, ada satu objek aset yang bisa dilakukan perampasan, tetapi aset ini tidak murni dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

“Di pasal 5 ayat 2 huruf a di RUU perampasan aset, dinyatakan bahwa salah satu objek yang bisa dijadikan sebagai objek perampasan aset yaitu peningkatan harta kekayaan dari setiap orang,” kata  Abdal Yanwar saat menjadi narasumber Serial Diskusi yang digelar Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) di Sekretariat PB PMII, Salemba Tengah, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023).

Artinya, di dalam RUU Perampasan Aset yang akan disahkan DPR ini, bagi siapapun yang hartanya meningkat tetapi tidak bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan asal usulnya serta keabsahannya dapat dianggap sebagai objek dalam perampasan aset. Meskipun, mekanisme dari RUU ini masih mengalami perdebatan yang cukup alot.

“Mekanismenya ini menjadi perdebatan karena di satu sisi trigger awalnya adalah triger pidana  tapi karena pendekatannya pendekatan inrem yang identic dengan perdata maka akhirnya diintrodusir bahwa ketika penyidik memberikan berkas perkara, maka dia akan parallel kepada penuntut umum dan jaksa pengacara  negara yang nantinya persidangan juga parallel,” beber Abdal Yanwar.

Sementara itu, menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Nurul Ghufron, pihaknya hanya menindak transaksi keuangan yang memiliki perbuatan melawan hukum. Sementara PPATK kewenangannya tidak sama dengan KPK, PPATK hanya pada aspek melihat dan menganalisis transaksi keuangan pejabat negara. 

“Akhirnya supaya mudah, maka kemudian di angkek itu bahwa penyelenggara negara atau public official kalau uangnya tiba-tiba bertambah, tak sesuai dengan profilnya. Maka, PPATK mendorong agar penggunaan mekanisme pemidanaan yang bersifat inpersonam digeser kepada inrem,” tutur Ghufron. 

Ghufron menjelaskan, inpersonam adalah mekanisme pemidanaan yang melihat orang ke orangnya langsung, apa yang dia lakukan dan apa hasilnya. Sementara inrem tidak melihat itu, tetapi menitikberatkan pada posisinya apa? uangnya berapa?. Sebab kata dia, posisi itu menunjukan income yang resmi. Bagi seorang pejabat boleh saja memiliki harta tidak resmi asalkan legal.

“Boleh tidak resmi asalkan  legal,” katanya.

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori