Opini oleh Sahyul Pahmi, Pengurus IKA PMII Maros yang Masih belajar menjadi Manusia, sekarang menikmati Kopi di Meja Dosen STAI Al-Furqan Makassar.
***
Di jalanan, suara lantang mahasiswa
menggema, seperti genderang perang yang dipukul dari balik kekecewaan. Tapi di
sudut-sudut kampus, di balik meja-meja belajar, sebagian lain duduk tenang,
menunduk bukan karena taat, melainkan karena lelah atau tak peduli. Di zaman
ketika demonstrasi menjadi semacam liturgi rutin, apatisme pun menjadi ibadah
baru: sunyi, pasrah, dan tak ingin tahu. Dua kutub itu tak selalu saling
menentang, tapi tak juga saling bicara. Seperti doa dan gugatan yang dibaca
dalam bahasa yang berbeda. Seperti hikmah yang turun di tengah gegap gempita,
tapi juga mungkin terselip di balik diam yang tampak tak bermakna.
Setiap tahun, mahasiswa turun ke jalan.
Poster-poster dicetak tergesa, megafon diwariskan turun-temurun, dan pekikan
“Hidup Mahasiswa” terdengar seperti gema dari masa lalu yang belum selesai. Isu
boleh berganti: dari revisi undang-undang hingga jerat tambang, dari pajak
digital hingga hak buruh. Tapi gaya, narasi, dan bahkan slogan-slogannya tetap
seperti itu. Heroik, penuh semangat, kadang sayangnya... klise. Dalam kacamata
Islam, amar ma’ruf nahi munkar tentu tak lekang oleh zaman. Tapi ketika kebenaran
kehilangan keikhlasan, perjuangan pun menjadi performa, bukan pengabdian.
Namun tidak semua mahasiswa terlibat. Di
kampus-kampus kecil, di fakultas-fakultas yang terasing dari sorotan, ada
mahasiswa yang bahkan tak tahu ada demo sedang berlangsung. Bukan karena tidak
punya prinsip, tapi karena tak sempat peduli. Mereka sibuk mengejar tugas,
menyusun skripsi yang mandek, atau sekadar bertahan hidup dari tekanan ekonomi
dan harapan orang tua yang menggantung di langit-langit kos yang sempit. Dan
dalam Islam, orang yang bekerja mencari nafkah demi keluarga disebut sebagai
mujahid fi sabilillah. Mungkin diam mereka bukan pasrah, tapi bentuk lain dari
jihad diam-diam—yang tidak tercatat dalam berita, tapi dicatat di langit.
Lalu kita bertanya: siapa yang benar-benar
mewakili suara mahasiswa hari ini? Mereka yang turun ke jalan, atau mereka yang
diam dan menyibukkan diri dengan hidup yang nyata? Jawabannya barangkali
terletak dalam prinsip tawazun (keseimbangan) yang diajarkan Islam: antara
gerak dan diam, antara lisan dan pemikiran, antara aksi dan tafakur.
Yang turun ke jalan kadang terjebak dalam
simbolisme perjuangan. Demonstrasi jadi semacam panggung teatrikal, di mana
emosi harus meledak, suara harus keras, dan visualisasi kemarahan harus tegas.
Tetapi setelah teriakan reda dan barisan bubar, seringkali hanya tersisa
foto-foto yang siap diunggah dan euforia sesaat yang cepat larut. Di sinilah
pentingnya niat yang jernih. Tanpa niat karena Allah, amal sosial berubah
menjadi riya’. Seperti kata Imam Al-Ghazali: amal tanpa niat itu seperti tubuh
tanpa ruh.
Di sisi lain, mereka yang memilih diam pun
tidak selalu lepas dari kesalahan. Apatisme di kampus sering dibalut dengan
alasan “realistis”, “sudah tidak percaya”, atau yang paling laris: “nggak ada
gunanya juga”. Namun dalam Islam, tidak peduli terhadap urusan umat adalah
tanda penyakit hati. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa tidak peduli terhadap
urusan kaum Muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka.” Maka sikap diam tak
selalu netral. Ia bisa menjadi khianat terhadap amanah intelektual.
Di zaman media sosial, aktivisme bisa
dipanggil kapan saja, tapi bisa juga ditinggal sewaktu-waktu. Satu klik like,
satu unggahan story bertagar, lalu cukup. Dunia berubah cepat, dan mahasiswa
hari ini hidup dalam kontradiksi: kritis di caption, pasif dalam tindakan;
marah pada negara, tapi tak punya waktu baca undang-undang. Dalam pandangan
Islam, ‘ilmu dan ‘amal harus berjalan beriring. Tanpa amal, ilmu menjadi beku.
Tanpa ilmu, amal menjadi buta.
Kita sedang hidup di masa fragmentasi
kesadaran. Mahasiswa tidak lagi satu suara, tidak lagi satu gerak. Di satu
tempat ada yang memperjuangkan petani, di tempat lain ada yang sibuk jualan
online. Di satu fakultas ada yang menggelar mimbar bebas, di fakultas sebelah
sibuk menyusun acara kampus bertema healing. Semua jalan, semua bergerak, tapi
tanpa arah yang sama. Padahal Islam mengajarkan ukhuwah—persaudaraan ide, bukan
hanya identitas. Bergerak tanpa visi adalah seperti musafir tanpa qiblat.
Mungkin ini bukan kegagalan, tapi gejala
zaman. Di era pasca-kebenaran, opini jadi lebih kuat dari data. Di era
pasca-solidaritas, pilihan jadi lebih penting dari suara bersama. Tapi Islam
selalu mengajarkan jamā‘ah, bukan hanya karena kekuatan ada di jumlah, tapi
karena dalam kebersamaan ada berkah—seperti sabda Nabi, “Yadullāhi
ma‘al-jamā‘ah.”
Saya tidak hendak memuja masa lalu. Orde
demonstrasi pun pernah salah langkah. Mahasiswa pun pernah dijadikan alat
politik, lalu dibuang setelah kampanye. Tapi saya rindu kampus yang gaduh
dengan gagasan. Saya rindu perpustakaan yang penuh bukan karena jadwal UAS,
tapi karena orang-orang ingin membaca dunia. Saya rindu diskusi kecil di
kantin, di mana seorang anak semester tiga berani membantah dosen karena
membaca lebih banyak dari silabus. Karena dalam Islam, membaca adalah wahyu
pertama. “Iqra’.” Bacalah. Maka kesadaran dimulai dari sana.
Kita butuh ruang baru. Ruang yang
menghubungkan yang turun ke jalan dengan yang tinggal di ruang dingin. Yang
berteriak dan yang berpikir. Yang membakar ban dan yang membakar kesadaran.
Kita butuh jembatan: antara aktivisme dan refleksi, antara tindakan dan
pemahaman, antara simbol dan substansi. Karena Islam tidak hanya menyeru untuk
bergerak, tapi juga berpikir. “Afala tatafakkarun?” Apakah kalian tidak
berpikir?
Kita sedang hidup di tengah gempuran isu
yang tidak kecil: dari perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, proyek
infrastruktur yang mangkrak seperti cita-cita, hingga RUU TNI yang mengaburkan
batas sipil dan militer. Di sektor lain, pelecehan seksual merajalela, rupiah
melemah, dan gaya komunikasi pejabat lebih cocok jadi konten meme. Islam
mengajarkan al-haqq yuqālu walau kāna murran—kebenaran harus disampaikan, meski
pahit. Dan hari ini, kebenaran kadang tersesat di antara canda, jargon, dan
noise politik.
Maka dalam pusaran seperti itu, mahasiswa
harus kembali ke identitasnya: pewaris nabi. Bukan pewaris seleb kampus. Bukan
penerus admin BEM centang biru. Tapi penjaga akal sehat umat. Penjaga suara
mereka yang dibungkam. Penjaga pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.