Globalkan Perjuangan, Globalkan Harapan: Saatnya Perempuan Menjadi Pilar Kedaulatan Pangan

Oleh: Khotijah, S.T., M,T
(Ketua Bidang Pertanian & Pangan KOPRI PB PMII)

RA Kartini bukan sekadar simbol. Ia adalah ledakan kesadaran yang lahir dari luka-luka sejarah. Maka, menyambut Hari Kartini bukanlah sekadar menggali kutipan klasik tentang emansipasi, tetapi momen kritis untuk menggugat relasi kuasa yang masih timpang dan mengukuhkan peran strategis perempuan dalam medan paling fundamental: pertanian dan pangan.

Letak Indonesia yang berada di sepanjang garis khatulistiwa, berdiri di atas tanah yang kaya raya—tanah yang pernah disakralkan oleh leluhur sebagai sumber penghidupan, bukan komoditas spekulasi. Dengan lebih dari 15,9 juta hektare lahan potensial untuk budidaya, serta kekayaan alam yang diwariskan dari jalur vulkanik aktif dan iklim tropis yang stabil, negeri ini seharusnya menjadi lumbung pangan dunia.

Tapi alih-alih berdiri sebagai raksasa agraris, kita malah menjadi pasien kronis pasar global: tergantung pada impor, terjebak dalam skema korporasi global, dan membiarkan petani—terutama perempuan petani—berjuang sendiri di medan yang tak adil dalam keseimbangan dan kesetaraan.

Padahal, seperti yang dicatat BPS, proporsi lapangan kerja informal menurut jenis kelamin didominasi perempuan sebesar 64,25% daripada laki-laki. Mereka adalah tulang punggung yang tak terlihat dalam rantai pangan: menanam, merawat, memanen, mengolah, dan menghidupi keluarganya dengan cara yang tak pernah tercatat dalam laporan laba rugi korporasi.

Namun ironisnya, kontribusi mereka kerap dibungkam. Hak atas tanah, akses teknologi dibatasi, dan pelatihan pertanian diarahkan lebih banyak ke laki-laki atau elite pertanian yang terkooptasi modal. Apakah ini wajah emansipasi yang kita rayakan setiap 21 April? Atau justru kegagalan struktural yang dibiarkan terus berlangsung di balik parade kebaya dan seminar kesetaraan gender?

Hari Kartini harusnya menjadi titik balik. Bukan dalam bentuk simbolik, tetapi dalam perjuangan penuh harapan perlawanan struktural. Kita mesti belajar dari perempuan seperti Mali dari Afrika yang memutuskan membangun desanya melalui pertanian komunitas dan menolak tunduk pada logika perdagangan global (WTO). Atau tiga perempuan dari SEPASI yang berjuang selama dua dekade demi hak atas tanah, melawan intimidasi negara dan korporasi.

Di tengah krisis pangan global yang semakin brutal akibat perang, perubahan iklim, dan proteksionisme pangan, peran perempuan dalam sektor pertanian menjadi krusial, bahkan strategis. Perempuan adalah produsen pangan, penjaga gizi pangan keluarga, dan pejuang agraria. Tapi negara belum benar-benar hadir untuk mereka. Pemerintah masih asyik mengejar angka produksi dan target swasembada, tanpa membongkar akar ketimpangan dalam akses, kepemilikan, dan kontrol atas sumber daya.

Sudah saatnya kedaulatan pangan dimaknai sebagai perjuangan politik yang menempatkan perempuan di garis depan. Ini bukan sekadar soal mencetak sawah atau subsidi pupuk, tapi mendesain ulang sistem pangan dari akar hingga ke meja makan. Dan untuk itu, perempuan harus diberi ruang lebih: mulai dari keputusan strategis berbasis sistem, penguasaan teknologi canggih, sampai peran nyata dalam riset dan pengembangan benih lokal.

Peningkatan kapabilitas dan kapasitas pertanian untuk petani perempuan harus didorong, kebun komunitas harus diperluas, dan jaringan distribusi pangan harus dibebaskan dari cengkeraman korporasi. Diversifikasi pangan bukan hanya alternatif, tetapi KEHARUSAN. Ketergantungan pada beras dan gandum membuat kita mudah diguncang oleh perang Rusia-Ukraina atau embargo ekspor India. Kenapa bukan sagu, kacang-kacangan, singkong, sorgum, dan umbi-umbian lokal yang menjadi andalan? Teknologi rekayasa pangan (food engineering) bisa menjawab itu, tetapi hanya jika diarahkan untuk keberdayaan rakyat, bukan keuntungan investor.

Menyambut Hari Kartini 2025, kita tidak butuh lebih banyak spanduk bertuliskan “perempuan adalah pahlawan.” Yang kita butuhkan adalah perempuan petani yang berdaulat atas tanahnya, sumber daya, mampu menjual hasil panennya langsung ke pasar tanpa perantara rakus, memiliki suara setara dalam pengambilan keputusan, dan pangan yang berkelanjutan.

Kartini hari ini bukan lagi tentang membuka jendela ke dunia. Jendelanya sudah terbuka lebar. Tapi yang masuk justru angin neoliberal yang menggulung sawah menjadi pabrik, dan menggantikan benih lokal dengan bibit paten.

Kartini hari ini harus menutup jendela itu dan membangun pintu baru: pintu menuju sistem Pangan Berdaulat, Inklusif, dan Berkelanjutan. Di sanalah emansipasi menemukan maknanya yang paling radikal.