Oleh: Mariyatul Humaira'
Bendahara Bidang Pariwisata Kopri PB PMII (Alumni Sekolah Politik Perempuan [Skolastik])
Jakarta, - Raja Ampat itu surga. Lautnya jernih seperti kaca, gugusan pulaunya seperti lukisan, dan dunia bawah lautnya adalah rumah bagi ribuan jenis makhluk hidup yang tak ditemukan di tempat lain. Tapi hari ini, surga itu sedang dilukai—oleh kita sendiri.
Beberapa tahun terakhir, aktivitas tambang dan pembangunan mulai masuk ke kawasan ini. Ada pengerukan, pembukaan lahan, lalu lintas kapal, dan proyek-proyek lain yang katanya untuk "kemajuan." Tapi kalau kita lihat lebih dekat, semua ini terjadi dengan cara yang sporadis, tanpa arah jelas, dan—yang paling menyakitkan—tanpa menghormati ekosistem yang sudah ribuan tahun menjaga harmoni.
Tanah digali, bukit diratakan, laut diaduk-aduk. Semua demi logam atau fasilitas yang katanya mendatangkan investasi. Tapi investasi untuk siapa? Sementara masyarakat lokal yang hidupnya bergantung pada laut justru kehilangan ikan, kehilangan ketenangan, kehilangan masa depan.
Kita sering bicara tentang pembangunan. Tapi kita lupa, membangun bukan berarti menghancurkan yang sudah baik. Apalagi di tempat seperti Raja Ampat—yang nilai terbesarnya justru ada pada kelestariannya.
Pembangunan yang merusak karang, mengotori laut, dan mengusir keanekaragaman hayati bukan kemajuan. Itu kemunduran. Yang kita dapat mungkin hanya angka sesaat dalam laporan ekonomi, tapi yang kita hilangkan adalah sesuatu yang tidak bisa kembali: ekosistem, budaya lokal, dan hak anak cucu kita untuk melihat keindahan yang sama.
Padahal, ada jalan lain. Raja Ampat sudah lama menjadi contoh ekowisata yang berhasil. Homestay milik warga, pengelolaan wisata berbasis komunitas, dan inisiatif-inisiatif lokal lain sudah terbukti membawa manfaat—baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologis. Tapi sayangnya, suara-suara ini sering tenggelam di antara deru alat berat dan agenda besar yang tak mengakar.
Sebagai warga negara, kita tidak sedang menolak pembangunan. Kita hanya ingin pembangunan yang benar. Yang tidak meninggalkan luka. Yang tidak mengganti surga dengan sisa tambang dan janji kosong. Raja Ampat bukan tempat untuk digali. Ia tempat untuk dijaga.
Jika hari ini kita diam, mungkin kelak kita hanya bisa menceritakan Raja Ampat sebagai kisah sedih: bahwa Indonesia pernah punya surga, tapi kita menggalinya sendiri hingga habis.
Dan pada akhirnya kita akan bertanya: warisan seperti apa yang ingin ditinggalkan untuk generasi selanjutnya?Lingkungan yang masih bisa diandalkan, atau tanah kosong yang hanya menyisakan cerita tentang keindahan yang pernah ada!