Penyandang disabilitas di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dalam mengakses teknologi digital. Meskipun perkembangan teknologi di Indonesia cukup pesat, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Infrastruktur digital yang tersedia belum inklusif, banyak platform digital tidak dirancang sesuai standar internasional seperti Web Content Accessibility Guidelines (WCAG). Akibatnya, penyandang disabilitas, khususnya mereka yang mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran, kesulitan mengakses informasi dan layanan digital.
Selain itu, regulasi di Indonesia
belum cukup mendorong penyedia layanan digital untuk memenuhi standar
aksesibilitas. Kebijakan yang ada cenderung normatif tanpa pengawasan yang
memadai, sehingga banyak penyedia layanan tidak memperhatikan kebutuhan
penyandang disabilitas dalam desain teknologi mereka. Kesadaran masyarakat dan
pembuat kebijakan mengenai pentingnya aksesibilitas digital juga masih rendah,
memperburuk kondisi tersebut. Kurangnya pelatihan literasi
digital menjadi faktor lain yang menghambat penyandang disabilitas untuk
memanfaatkan teknologi secara optimal. Banyak dari mereka tidak mendapatkan
pelatihan yang memadai dalam menggunakan perangkat bantu atau aplikasi digital.
Hal ini semakin memperburuk kesenjangan digital yang ada, membuat penyandang
disabilitas sulit bersaing dalam masyarakat berbasis teknologi.
Kondisi ini berdampak luas pada
kehidupan penyandang disabilitas. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengakses
pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik, yang berujung pada eksklusi sosial
dan ekonomi. Keterbatasan ini juga meningkatkan kesenjangan digital, menjadikan
penyandang disabilitas semakin terisolasi. Untuk mengatasi masalah ini,
diperlukan langkah-langkah konkret, seperti meningkatkan infrastruktur digital
yang inklusif, memperketat regulasi aksesibilitas, dan menyediakan pelatihan
literasi digital yang ramah disabilitas. Selain itu, pemerintah, sektor swasta,
dan masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya aksesibilitas
digital dan bekerja sama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih
inklusif. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan penyandang disabilitas dapat
lebih diberdayakan dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat digital.
2. Pendahuluan
a. Permasalahan
Penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengakses teknologi digital. Meskipun kemajuan teknologi di Indonesia sangat pesat, aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas masih terhambat oleh infrastruktur yang tidak inklusif dan kurangnya regulasi yang mengharuskan penyedia layanan digital untuk memenuhi standar aksesibilitas. Banyak platform digital, baik dari sektor publik maupun swasta, yang tidak dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas, baik dari segi tampilan, navigasi, maupun teknologi bantu (ESCAP, 2014; Yulaswati, 2021).
Isu utama yang dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah kesulitan dalam mengakses pendidikan, informasi pekerjaan, dan layanan publik berbasis digital. Kurangnya literasi digital dan pelatihan yang spesifik untuk penyandang disabilitas semakin memperburuk ketimpangan yang ada di masyarakat, karena penyandang disabilitas tidak dapat memanfaatkan potensi penuh dari teknologi yang ada (Arifin, 2024; Upadhyaya, 2019). Penyediaan layanan digital yang ramah disabilitas, seperti penggunaan pembaca layar, subtitel, dan alat bantu lainnya, sangat terbatas, yang menyebabkan mereka terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan, dan ekonomi (Taniady, 2021). Selain itu, kebijakan pemerintah saat ini belum cukup mendorong inklusi digital bagi mereka, dengan hanya 36,7% penyandang disabilitas memiliki telepon genggam dan 18,9% yang menggunakan internet (Ernawati, 2023).
b. Konteks
Aksesibilitas digital telah menjadi isu global yang semakin mendapat perhatian. Pedoman internasional seperti Web Content Accessibility Guidelines (WCAG) mengatur standar desain digital yang dapat diakses oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Meskipun ada kebijakan yang mendukung inklusi digital di Indonesia, implementasinya masih terbatas, dengan sebagian besar kebijakan hanya berfokus pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak cukup diimplementasikan di daerah-daerah terpencil (OECD, 2024; Davis, 2016). Dalam konteks ini, kesadaran yang rendah di kalangan pembuat kebijakan dan masyarakat umum mengenai pentingnya aksesibilitas digital memperburuk masalah yang ada (Hachana, 2024). Hal ini mengarah pada ketimpangan digital, yang membuat penyandang disabilitas semakin terpinggirkan.
Di Indonesia, dengan lebih dari 270 juta penduduk dan keberagaman sosial yang sangat besar, penyandang disabilitas sering kali mengalami hambatan sosial yang memperburuk ketimpangan akses mereka terhadap teknologi. Kondisi ini lebih buruk lagi di daerah-daerah dengan akses internet yang terbatas dan kurangnya perangkat teknologi yang mendukung. Bahkan jika penyandang disabilitas dapat mengakses teknologi, mereka sering kali kesulitan menggunakannya dengan maksimal tanpa adanya pelatihan yang memadai atau akses ke perangkat bantu (Park, 2014; Khanlou, 2021).
c. Penyebab
Penyebab utama ketidakmampuan penyandang disabilitas dalam mengakses teknologi digital di Indonesia berasal dari berbagai faktor yang saling terkait:
- Sebagian
besar platform digital di Indonesia tidak memenuhi standar internasional aksesibilitas
digital, seperti WCAG 2.0, yang memastikan konten digital dapat diakses
oleh semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Banyak situs web dan
aplikasi yang tidak menyediakan fitur teks alternatif untuk gambar atau
tidak ramah bagi pengguna pembaca layar, membuat penyandang disabilitas,
terutama mereka yang mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran,
kesulitan mengakses informasi dan layanan digital (Khanlou, 2021; ESCAP,
2014).
- Meskipun
Indonesia memiliki kebijakan yang mendukung aksesibilitas, regulasi yang
jelas dan implementasi yang efektif masih kurang. Penyedia layanan digital
di Indonesia tidak diwajibkan untuk memenuhi standar aksesibilitas,
sehingga banyak yang tidak peduli terhadap kebutuhan penyandang
disabilitas dalam desain teknologi mereka. Regulasi yang ada belum cukup
untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat mengakses platform
digital dengan mudah dan tanpa hambatan (Poerwantini, 2024; Scholz, 2017).
- Banyak
penyandang disabilitas tidak mendapatkan pelatihan yang cukup untuk
memanfaatkan teknologi bantu atau menggunakan perangkat digital yang dapat
membantu mereka dalam mengakses informasi dan layanan. Kurangnya program
pelatihan yang ditujukan untuk penyandang disabilitas menyebabkan mereka
tertinggal dalam penguasaan keterampilan digital, yang semakin penting di
era digital saat ini (Yulaswati, 2021; Hachana, 2024).
- Salah satu faktor yang menghambat kemajuan adalah kesadaran yang rendah mengenai pentingnya aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas. Meskipun sudah ada kebijakan yang mendukung inklusi digital, kurangnya pemahaman di kalangan pembuat kebijakan menyebabkan kebijakan ini tidak diimplementasikan dengan baik atau tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat (Khanlou, 2021; ESCAP, 2014).
d. Dampak
Dampak dari kurangnya aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas sangat besar dan meluas, tidak hanya pada penyandang disabilitas itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan:
- Eksklusi
Sosial dan Ekonomi: Penyandang disabilitas yang tidak memiliki akses ke
teknologi digital akan semakin terpinggirkan dalam kehidupan sosial dan
ekonomi. Mereka kehilangan kesempatan untuk mengakses pendidikan,
informasi pekerjaan, dan layanan publik berbasis teknologi, yang
mengurangi partisipasi mereka dalam masyarakat digital yang semakin
berkembang (ESCAP, 2014; OECD, 2024).
- Keterbatasan
Peluang Pekerjaan: Tanpa keterampilan digital, penyandang disabilitas
kesulitan untuk mengakses peluang pekerjaan yang berbasis teknologi. Ini
berkontribusi pada ketimpangan sosial-ekonomi, di mana penyandang
disabilitas tetap terjebak dalam kemiskinan karena tidak bisa mengakses
sumber daya yang ada (Davis, 2016; Park, 2014).
- Peningkatan Kesenjangan Digital: Kesenjangan digital antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas semakin melebar. Penyandang disabilitas yang tidak memiliki akses yang setara terhadap teknologi digital menjadi kelompok yang semakin terisolasi dan kesulitan untuk bersaing dalam masyarakat yang bergantung pada teknologi (Upadhyaya, 2019; Khanlou, 2021).
3. Temuan Masalah/Isu
Berdasarkan analisis terhadap seluruh literatur yang digunakan sebagai referensi, sejumlah isu utama terkait aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas di Indonesia dapat diidentifikasi. Beberapa masalah yang paling sering dibahas di seluruh literatur mencakup infrastruktur yang tidak inklusif, regulasi yang lemah, kesadaran yang rendah tentang pentingnya aksesibilitas, dan kurangnya pelatihan digital untuk penyandang disabilitas. Di bawah ini adalah temuan-temuan utama yang ditemukan dalam berbagai sumber yang ada.
a. Infrastruktur yang Tidak Inklusif
Salah satu masalah terbesar yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur digital yang ramah disabilitas. Banyak situs web dan aplikasi digital yang tidak dirancang untuk dapat diakses oleh penyandang disabilitas, seperti mereka yang mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran. Beberapa literatur menyoroti kurangnya desain antarmuka pengguna (UI/UX) yang ramah disabilitas pada platform digital. Platform yang ada sering kali tidak menyediakan fitur penting seperti pembaca layar atau teks alternatif untuk gambar, yang merupakan fitur dasar untuk aksesibilitas (Scholz, 2017; ESCAP, 2014; Hachana, 2024). Selain itu, kurangnya perangkat bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas juga menjadi faktor utama yang membatasi akses mereka terhadap teknologi digital (Taniady, 2021; Yulaswati, 2021).
b. Regulasi yang Tidak Memadai dan Implementasi yang Lemah
Banyak literatur menyoroti ketidakefektifan kebijakan yang ada terkait dengan aksesibilitas digital. Meskipun pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kebijakan untuk inklusi digital, penerapannya masih sangat terbatas. Sebagian besar kebijakan ini tidak diikuti dengan regulasi yang memadai dan kurangnya pengawasan yang berkelanjutan terhadap penyedia layanan digital (OECD, 2024; Upadhyaya, 2019). Banyak penyedia layanan digital di Indonesia, baik yang bersifat publik maupun swasta, tidak diwajibkan untuk mematuhi standar aksesibilitas digital yang jelas dan konsisten, yang menyebabkan ketidakseimbangan akses bagi penyandang disabilitas dan non-disabilitas (Kulkarni, 2019; Poerwantini, 2024).
c. Kurangnya Literasi Digital dan Pelatihan
Salah satu isu utama yang diangkat dalam literatur adalah kurangnya pelatihan yang memadai untuk penyandang disabilitas dalam mengakses teknologi. Banyak penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan pelatihan yang spesifik mengenai penggunaan perangkat bantu atau aplikasi digital yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Program pelatihan yang ada cenderung tidak inklusif dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan penyandang disabilitas, yang menyebabkan mereka kesulitan memanfaatkan peluang yang ada di dunia digital (Poerwantini, 2024; Khanlou, 2021). Sebagai contoh, meskipun ada beberapa kursus dan program literasi digital, tidak banyak yang difokuskan pada penyandang disabilitas dan kebanyakan tidak menawarkan pelatihan yang terjangkau atau mudah diakses di daerah-daerah terpencil (ESCAP, 2014; Robinson, 2020).
d. Kesadaran yang Rendah tentang Aksesibilitas Digital
Literasi digital yang rendah tidak hanya terjadi di kalangan penyandang disabilitas, tetapi juga di kalangan pengambil kebijakan dan masyarakat umum. Banyak literatur menyoroti kurangnya kesadaran tentang pentingnya aksesibilitas digital di kalangan pembuat kebijakan dan pengembang teknologi. Tanpa kesadaran yang memadai, kebijakan yang ada cenderung tidak diimplementasikan dengan baik atau bahkan tidak mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas secara khusus (Scholz, 2017; Taniady, 2021). Bahkan meskipun beberapa kebijakan inklusif telah ada, sering kali kebijakan tersebut hanya bersifat normatif dan tidak cukup untuk mendorong tindakan nyata, seperti memastikan bahwa penyedia layanan memenuhi standar aksesibilitas (OECD, 2024).
e. Dampak Sosial dan Ekonomi yang Signifikan
Penyandang disabilitas yang tidak memiliki akses yang setara terhadap teknologi digital sering kali terpinggirkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Literasi digital yang rendah dan infrastruktur yang tidak inklusif menyebabkan penyandang disabilitas kesulitan untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial berbasis digital. Banyak penyandang disabilitas yang tertinggal dalam dunia kerja karena mereka tidak memiliki akses terhadap peluang pekerjaan yang bergantung pada keterampilan digital. Hal ini semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi yang sudah ada di masyarakat (Paulus Haniko, 2023; Noh Y, 2019). Sebagai contoh, penyandang disabilitas yang tidak dapat mengakses platform digital untuk melamar pekerjaan atau mendapatkan informasi penting lebih cenderung hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan.
f. Kesulitan dalam Mengakses Layanan Publik Digital
Salah satu temuan utama dalam literatur adalah kesulitan penyandang disabilitas dalam mengakses layanan publik berbasis digital. Banyak pemerintah daerah yang belum mengembangkan platform digital yang inklusif untuk melayani kebutuhan penyandang disabilitas. Tanpa adanya akses yang memadai terhadap layanan digital, penyandang disabilitas mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan administrasi publik, yang semuanya semakin bergantung pada teknologi digital. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan, karena mereka tidak dapat menikmati layanan yang tersedia untuk masyarakat umum (Yulaswati, 2021; Robinson, 2020).
4. Rekomendasi
Berdasarkan temuan yang telah diidentifikasi dalam literatur, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan dan intervensi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Rekomendasi ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kebijakan pemerintah hingga pengembangan infrastruktur digital yang inklusif.
a. Pengembangan Infrastruktur Digital yang Inklusif
Peningkatan Standar Aksesibilitas Digital: Salah satu langkah pertama yang perlu diambil adalah memperkenalkan regulasi yang lebih ketat yang mewajibkan semua platform digital, baik milik sektor publik maupun swasta, untuk mematuhi standar aksesibilitas digital internasional, seperti Web Content Accessibility Guidelines (WCAG). Pemerintah Indonesia perlu bekerja sama dengan pengembang teknologi untuk memastikan bahwa situs web dan aplikasi digital dapat diakses oleh penyandang disabilitas, baik mereka yang mengalami gangguan penglihatan, pendengaran, atau gangguan motorik (OECD, 2024; Upadhyaya, 2019).
Salah satu strategi yang dapat diadopsi adalah memberikan insentif kepada perusahaan yang mengembangkan aplikasi dan teknologi yang ramah disabilitas, serta memberlakukan sanksi bagi yang tidak memenuhi standar.Penyediaan Teknologi Bantu yang Terjangkau dan Terjangkau: Penyandang disabilitas di Indonesia sering kali kesulitan mengakses perangkat bantu yang dapat meningkatkan kehidupan mereka. Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa teknologi bantu seperti pembaca layar, alat bantu pendengaran, dan perangkat input alternatif dapat diakses oleh penyandang disabilitas dengan harga yang terjangkau (Taniady, 2021; Scholz, 2017). Selain itu, perangkat ini perlu disesuaikan dengan kebutuhan lokal, terutama di daerah terpencil, untuk memastikan penyandang disabilitas dapat memanfaatkannya secara efektif (Scholz, 2017).
b. Penyusunan Kebijakan dan Regulasi yang Lebih Tegas
Meskipun Indonesia sudah memiliki beberapa kebijakan yang mendukung inklusi digital, seperti literasi digital untuk disabilitas, kebijakan ini harus lebih spesifik dan diimplementasikan dengan lebih tegas. Salah satu rekomendasi utama adalah untuk menyusun peraturan yang mengharuskan sektor swasta untuk menyediakan teknologi yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Di banyak negara, kebijakan aksesibilitas digital yang efektif telah diterapkan dengan mengintegrasikan standar aksesibilitas dalam peraturan dan mengawasi penerapannya secara ketat (Hachana, 2024; OECD, 2024). Selain menyusun kebijakan yang lebih jelas, penting juga untuk meningkatkan pengawasan terhadap implementasi kebijakan tersebut. Pemerintah perlu membentuk lembaga yang bertugas untuk memantau dan mengevaluasi penerapan standar aksesibilitas pada platform digital. Evaluasi berkala dan audit aksesibilitas terhadap aplikasi dan situs web yang digunakan oleh pemerintah dan sektor swasta akan membantu memastikan bahwa kebijakan yang ada diterapkan dengan efektif (Poerwantini, 2024; Davis, 2016).
c. Pelatihan Literasi Digital dan Penyuluhan bagi Penyandang Disabilitas
Salah satu langkah penting dalam memastikan penyandang disabilitas dapat mengakses dunia digital adalah dengan menyediakan program pelatihan literasi digital yang inklusif. Program ini harus berfokus pada peningkatan keterampilan teknologi digital penyandang disabilitas, termasuk penggunaan perangkat bantu dan aplikasi digital yang dapat membantu mereka berpartisipasi dalam dunia kerja dan pendidikan. Pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu, dengan fokus pada teknologi yang relevan dan perangkat yang ramah disabilitas (Yulaswati, 2021; Robinson, 2020). Pemerintah perlu bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan perusahaan teknologi untuk mengembangkan program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Misalnya, sekolah dan universitas dapat menawarkan kursus teknologi assistive atau pelatihan keterampilan digital, sedangkan sektor swasta dapat menawarkan beasiswa pelatihan atau menyediakan pelatihan bagi penyandang disabilitas di bidang pekerjaan berbasis teknologi (Poerwantini, 2024; Noh Y, 2019).
d. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat dan Pengambil Kebijakan
Salah satu rekomendasi utama yang muncul dalam literatur adalah pentingnya kampanye kesadaran nasional yang menjelaskan pentingnya aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas. Kesadaran di kalangan pengambil kebijakan dan masyarakat perlu ditingkatkan untuk mempercepat pengembangan kebijakan inklusif. Pembuat kebijakan perlu diberikan pelatihan untuk memahami pentingnya aksesibilitas dan dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan akibat ketidakmampuan penyandang disabilitas untuk mengakses layanan digital (Scholz, 2017; ESCAP, 2014). Untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada dapat diimplementasikan dengan efektif, perlu ada program pendidikan dan pelatihan untuk pengambil kebijakan dan pengembang teknologi. Program ini harus bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang aksesibilitas digital dan bagaimana kebijakan yang mendukung inklusi dapat diterapkan (OECD, 2024; Upadhyaya, 2019).
e. Kolaborasi Antar Lembaga untuk Aksesibilitas Digital yang Lebih Baik
Pemerintah, sektor swasta, dan lembaga non-pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif. Kolaborasi ini dapat mencakup pengembangan teknologi yang ramah disabilitas, pendanaan untuk inisiatif inklusi digital, serta perbaikan kebijakan yang memastikan akses digital setara bagi semua orang (Robinson, 2020; Yulaswati, 2021). Selain itu, kemitraan internasional dengan organisasi yang berfokus pada aksesibilitas digital dapat membantu Indonesia dalam mengembangkan dan menerapkan standar global yang lebih efektif (Scholz, 2017; ESCAP, 2014).
Penutup
Kapital Digital (Aksesibilitas dan Kapasitas digital) adalah hak dasar bagi setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, dalam masyarakat yang semakin bergantung pada teknologi. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan dalam hal inklusi digital, tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas masih sangat besar. Infrastruktur yang tidak inklusif, kurangnya regulasi yang efektif, serta kesadaran yang rendah di kalangan masyarakat dan pengambil kebijakan menyebabkan penyandang disabilitas tetap terpinggirkan dalam dunia digital.
Melalui analisis yang komprehensif dari seluruh literatur yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa beberapa masalah utama yang menghambat aksesibilitas digital bagi penyandang disabilitas di Indonesia antara lain adalah kurangnya standar aksesibilitas yang diterapkan di platform digital, ketidakcukupan pelatihan literasi digital, serta rendahnya kesadaran masyarakat dan pengambil kebijakan mengenai pentingnya aksesibilitas digital. Selain itu, dampak dari akses terbatas terhadap teknologi ini sangat luas, mempengaruhi kesempatan pendidikan, pekerjaan, serta akses ke layanan sosial dan kesehatan bagi penyandang disabilitas.
Namun demikian, meskipun tantangan ini besar, solusi yang ditawarkan juga sangat beragam. Pengembangan infrastruktur digital yang ramah disabilitas, pemberlakuan kebijakan yang lebih inklusif dan tegas, serta peningkatan pelatihan literasi digital bagi penyandang disabilitas merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki kondisi ini. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih inklusif dan setara bagi semua warga negara, tanpa terkecuali.