Ketidakjelasan Arah Kaderisasi dan Matinya Mentoring di PMII


Oleh : Abbar, Wakil Ketua 1 Bidang Kaderisasi PC PMII Maros Periode 2025–2026


pmii.id--Jakarta, Sejak dideklarasikan pada tanggal 17 April 1960, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memantapkan dirinya sebagai ruang terbentuknya kader muda Islam yang progresif, nasionalis, dan humanis. PMII tidak lahir sekedar menjadi organisasi kemahasiswaan yang berbasis keislaman, tetapi sebagai wadah pengkaderan intelektual yang mampu menjawab tantangan zaman. (10/05/2025)

Namun kini, satu pertanyaan penting harus kita ajukan secara jujur: ke mana arah kaderisasi PMII hari ini? Dan, mengapa mentoring yang dulu menjadi jantung pelatihan kader justru seperti mati suri?

Kaderisasi Sekadar Checklist

Kondisi yang mencemaskan hari ini adalah kaderisasi PMII semakin hari semakin menjauh dari substansi. Banyak pelatihan yang terlihat hanya berfungsi sebagai checklist kegiatan: MAPABA, PKD, dan PKL serta pelatihan lainnya yang dilaksanakan bukan sebagai proses kaderisasi yang visioner, melainkan sekedar memenuhi syarat dan batas waktu.

Di balik spanduk pelatihan dan foto dokumentasi yang ramai di media sosial serta ucapan selamat kepada para sahabat yang telah mengikuti pelatihan, sesungguhnya ada ruang kosong yang tak terlihat: bahwa ada kegagalan dalam kesadaran kita menumbuhkan ideologi dan intelektual pada diri kader.

Hilangnya Praktik Mentoring

Namun, di banyak wilayah, termasuk Maros, praktik mentoring nyaris lenyap. Ada sejumlah faktor utama yang menyebabkan hal ini terjadi. Padahal, mentoring adalah fondasi awal dalam membangun kedekatan antara kader muda dan senior, membentuk daya pikir kritis, memperkenalkan nilai-nilai pergerakan, serta menanamkan karakter dan mentalitas pejuang.

Kini, makna itu mulai hilang. Di banyak rayon dan komisariat, mentoring tak lebih dari kewajiban administratif, atau bahkan tak dijalankan sama sekali. Misalnya saja, perealisasian Rencana Tindak Lanjut (RTL) pasca-pelatihan seringkali hanya dipenuhi sebagai syarat formal, bukan sebagai bagian dari proses kaderisasi yang bermakna. Akibatnya, kader muda dibiarkan melangkah sendiri—tanpa arah, tanpa bimbingan, dan tanpa pijakan nilai yang kuat.

Ekosistem Intelektual yang Melemah

Masalahnya bukan hanya pada teknis pelaksanaan kaderisasi, tetapi pada ekosistem berpikir yang mulai hilang. Budaya membaca, berdiskusi, dan menulis tidak tumbuh dalam suasana yang mendukung. Banyak kader lebih sibuk dalam agenda-agenda seremonial dan kegiatan struktural yang berorientasi pada formalitas, namun minim refleksi kritis terhadap realitas sosial dan tantangan intelektual di sekelilingnya.

Tak sedikit pula yang terjebak dalam gaya hidup hedonistik dan FOMO (fear of missing out), lebih sibuk mengejar eksistensi di media sosial daripada memperdalam pemahaman ideologi dan memperkuat kapasitas intelektual. Akibatnya, lahirlah kader-kader yang aktif secara fisik, namun tumpul secara intelektual, bergerak tanpa arah gagasan, berbicara tanpa kedalaman makna, dan berjuang tanpa fondasi pemikiran.

Kehilangan Sosok Pengkader

Kita mulai kehilangan "pengkader", mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara generasi pelaku dan generasi pemikir dalam organisasi. Pengkader tidak selalu berada di garis struktural, namun mereka memiliki peran sebagai penjaga ruh intelektual dan ideologis yang menjaga arah dan prinsip pergerakan.

Ketika mentoring mati dan ruang untuk berpikir kritis menghilang, maka kader-kader kita dibiarkan tumbuh tanpa pondasi yang kuat: cepat besar namun rapuh, vokal namun dangkal, seperti pohon yang tumbuh tinggi tanpa akar yang kokoh. Ketiadaan bimbingan dan pengembangan intelektual ini menghasilkan generasi yang hanya pandai bersuara, tetapi miskin substansi dan pemahaman yang mendalam.

Rekonstruksi Arah Kaderisasi

Sebagai pengurus cabang yang bertanggung jawab pada bidang kaderisasi, saya melihat perlunya rekonstruksi arah kaderisasi PMII agar lebih berimbang. Oleh karena itu, PMII perlu melakukan rekonstruksi serius terhadap sistem kaderisasi yang ada.

Langkah pertama yang mendesak adalah menghidupkan kembali praktik mentoring, bukan sebagai program tambahan atau pelengkap kegiatan, melainkan sebagai kultur utama yang menjadi nafas pergerakan dalam setiap proses kaderisasi. Mentoring harus dipahami bukan sekadar sebagai proses transfer pengetahuan atau pendampingan teknis, tetapi sebagai hubungan yang mendalam dan berkesinambungan, yang membentuk karakter, mentalitas, dan spiritualitas kader. Di dalamnya terdapat proses pemanusiaan yang menumbuhkan keberanian berpikir, keteguhan sikap, dan loyalitas ideologis, hal-hal yang tak bisa dicapai hanya dengan forum-forum seremonial atau pelatihan yang instan.

Membangun Ruang Intelektual

Kita juga perlu membangun ruang intelektual yang aman di tingkat rayon atau komisariat, tempat kader bisa belajar, berdiskusi, berdebat, dan menulis. Tidak perlu fasilitas mewah, yang terpenting adalah konsistensi dan keberlanjutan. Kader yang ingin menulis dan membaca harus didorong dan didukung, tanpa dianggap asing.

Arah kaderisasi harus kembali dihubungkan dengan realitas zaman. Kaderisasi tidak boleh selesai pada pengetahuan internal organisasi semata, tetapi harus menjadi jembatan antara dunia akademik, sosial, dan spiritual. PMII harus mencetak kader yang tidak hanya berpikir kritis dan menyusun strategi, tetapi juga berdiri tegak sebagai pelopor perubahan sosial yang relevan dengan tantangan zaman.

Mentoring Adalah Jiwa Kaderisasi

Mentoring yang mati adalah tanda bahwa jiwa kaderisasi kita sedang sakit. Ketika mentoring tidak lagi dijalankan, kaderisasi kehilangan esensinya. Kaderisasi adalah proses panjang yang memerlukan ketelatenan, arah yang jelas, dan kesadaran ideologis.

Saatnya kita melakukan refleksi mendalam. Jangan sampai kita hanya sibuk mengurus organisasi, namun gagal mendidik manusia. Jangan biarkan kader merasa bangga dengan jabatannya, tetapi tanpa pemahaman yang jelas tentang arah perjuangannya.