Kopri PB PMII: Kebijakan PPN 12 Persen Melumpuhkan Perekonomian Gen Z dan Tidak Mendukung Kesejahteraan Perempuan dan Anak

JAKARTA, - Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (KOPRI PB PMII) periode 2024-2027 menyoroti terkait kebijakan pemerintah terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen sejak 1 Januari 2025.

Wulan Sari AS., Ketua Kopri PB PMII mengatakan, bahwa kenaikan PPN menjadi 12% akan berdampak ganda terhadap rumah tangga miskin, kelompok rentan, menengah, Generasi Z dan terutama perempuan dan anak dalam memperoleh hak-hak ekonomi dasar yang dijamin oleh negara seperti hak ekonomi, hak pendidikan, hak gizi dan kesehatan.  

Seperti diketahui, menguatnya wacana kenaikan PPN 12 % tersebut, setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih secara bergulir menyambut baik terhadap kenaikan pajak pertambahan nilai yang menurut kajian dan analisis pemerintah akan memperkuat perekonomian nasional. Bahkan, argumentasi yang dikedepankan oleh pemerintah yakni pajak pertambahan nilai tersebut akan memperketat alias memajaki masyarakat kelas atas.

 

Apabila ditarik mundur, PPN 12 % ini tidak terlepas dari amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang secara khusus diatur dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) UU HPP 7/2021. Melalui UU tersebut, pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibelitas untuk menetapkan tarif PPN dalam rentang 5-15 % melalui Peraturan Pemerintah. Kerangka regulasi tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif pajak tidak sepenuhnya wajib atau diharuskan, sebab, disaat bersamaan pemerintah diperintahkan oleh UU tersebut agar mempertimbangkan kebijakan yang lebih pro rakyat, terutama masyarakat kelas menengah hingga bawah, dan generazi Z. Sayangnya, pemerintah terkesan terburu-buru dalam mematok PPN 12 persen tanpa mendahului kajian secara matang dan mendalam serta melibatkan partisipasi publik secara luas sebagai subjek utama atas kebijakan negara.

 

Secara teoritis dan praktis, setiap kebijakan pemerintah terutama dalam sektor ekonomi telah meletakkan paradigma ekonomi demokratis. Pemaknaan ekonomi demokratis merupakan perwujudan dari setiap memutuskan kebijakan publik harus diajak berpartisipasi. Dalam konteks PPN 12 persen, hal tersebut akan berdampak terhadap sektor ekonomi dan memukul sektor sosial terutama kelas menengah dan masyarakat lapisan bawah. Terutama segmen Milenial dan Gen Z sebagai basis utama pemberdayaan Kopri PB PMII akan terpukul oleh kebijakan yang dinilai tidak berperspektif sosial dan keadilan ekonomi.

 

Secara sederhana, kebijakan ini akan menghambat daya konsumsi masyarakat ditandai dengan penurunan daya konsumsi akibat macetnya daya beli terutama masyarakat kelas menengah, bawah dan generasi Z. Selain itu, pemaksaan kebijakan PPN 12 persen ini akan berdampak terhadap memperberat daya beli yang saat ini sudah melemah sebagai dampak lanjutan dari pandemi, bencana sosial, bencana alam, dan gagal panen. Bahkan, pada triwulan III 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,91% secara tahunan, bahkan menurun sebesar 0,48%. Selanjutnya, mengacu laporan BRI (2024), pada sektor UMKM mengalami penurunan omzet sebesar 60%. Artinya, persoalan PPN ini harus dilihat sebagai kompleksitas problematik perekonomian masyarakat kecil dan menengah. Di lain sisi, pajak tarif harus dibaca sebagai wujud kehadiran negara dalam konteks pemberdayaan masyarakat bukan membebankan dan memperburuk pertumbuhan ekonomi warga.

 

Untuk melihat kompleksitas kebijakan PPN 12%,  ada tiga persoalan utama yang menjadi perhatian  Kopri PB PMII Periode 2024-2027:

 

l  Kenaikan PPN dan Beban Ganda: Rumah Tangga Miskin, Rentan, dan Menengah Terhimpit

Sesungguhnya, akibat kenaikan PPN menjadi 12%, maka sudah barang tentu kelompok miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp1,2 jt perbulan. Hal tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:

 

Pertama, Kelompok Miskin.  Dampak yang akan diperoleh dari kebijakan PPN 12% yakni akan mengurangi kemampuan memenuhi kebutuhan non-esensial seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Selain gejala tersebut, akan berdampak juga pada menurunkan tabungan dan konsumsi sehari-hari serta beban berat akibat ketergantungan pada bahan pokok.

 

Kedua, Kelompok Rentan Miskin. Kebijakan PPN 12% akan berpengaruh terhadap kembali pada  jurang kemiskinan ekstrim karena kurangnya jaringan sosial pengaman. Selain itu, kelompok miskin dan rentan juga akan mengalami pengurangan pada kemampuan untuk menabung dan berinvestasi. Hal penting lainnya yakni akan berdampak terhadap penurunan konsumsi barang/jasa terutama hak-hak ekonomi dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

 

Ketiga, Kelompok Menengah. Kebijakan PPN 12% akan berdampak terhadap pengurangan daya beli (hiburan, perjalanan, dan barang mewah). Selain itu, kelompok menengah juga akan terganggu sektor industri dan ekonomi kreatif. Hal lain yakni penurunan kualitas hidup dan berpotensi terjadi penurunan kelas menjadi kelompok miskin atau bawah.

 

l  PPN Naik, Tapi Cukai Rokok Tak tersentuh : Kesejahteraan Perempuan dipertanyakan

                Kenaikan PPN 12% mungkin bertujuan untuk meningkatkan pendapatan Negara dan menjaga stabilitas ekonomi. Harus diakui bahwa Bea Cukai yang diperoleh dari rokok memberikan pendapatan yang cukup tinggi terhadap Negara. Namun, perlu diketahui pula bahwa ketika PPN Naik, namun tidak dikenakan pada rokok dampak signifikan akan berimbas pada perempuan. Tanpa Beban pajak yang lebih tinggi, harga rokok akan lebih terjangkau. hal ini akan mendorong peningkatan konsumsi rokok di masyarakat, termasuk perempuan. Dampak yang diderita oleh perempuan dalam hal ini mencakup masalah kesehatan, Sosial dan Ekonomi.

Dari segi kesehatan merokok dapat menyebabkan penyakit serius seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan komplikasi kehamilan bagi perempuan perokok ataupun yang terkena paparan asap rokok. Disamping itu, kenaikan PPN 12% ini juga menyentuh beberapa Fasilitas Kesehatan. Walaupun dalam hal ini pemerintah secara tegas menggaungkan bahwa yang terkena PPN 12% hanyalah fasilitas Dalam Kategori “Mewah” namun, masyarakat masih ambigu terhadap pernyataan tersebut, sebab pada realitasnya dilapangan sering terjadi ketidakberdayaan perempuan memperoleh akses fasilitas kesehatan yang memadai.

     Dari segi sosial, jika ada anggota keluarga yang sakit akibat rokok, perempuan sering menjadi pengasuh utama, yang mana dapat meningkatkan tekanan fisik dan emosional serta resiko terpapar juga.

Kemudian dari segi ekonomi ketika jumlah perokok dalam keluarga bertambah karena harganya yang murah, anggaran untuk kebutuhan penting seperti pendidikan, makanan bergizi atau perawatan kesehatan bisa terabaikan karena akses perawatan yang kurang memadai, sebab pengalokasian dana yang tidak seimbang.

 

l  Gen Z: dari “Staycation ke Stay Broke”

Kebijakan PPN 12% pada Gen- Z sebagai basis utama advokasi dan pemerdayaan KOPRI PB PMII, akan berimplikasi dalam hal pengelolaan Anggaran bulanan, pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, hiburan, dan transportasi. Kenaikan pengeluaran ini juga mempengaruhi kemampuan untuk menabung atau investasi bagi Gen-Z kenaikan harga yang berkelanjutan dapat menyebabkan mereka merasa terjepit dalam mengatur keseimbangan antara pengeluaran sehari-hari, bulanan dan tabungan.

Dalam jangka panjang, jika pengeluaran terus meningkat tanpa dibarengi dengan penghasilan maka akan berdampak terhadap masalah keuangan, kesepian, beban pekerjaaan, trauma sosial, tinggal di lingkungan buruk, mendapatkan perlakuan diskriminasi, kekerasan, dan diskriminatif sebagai multieffect dari kebijakan PPN 12%.

 

Rekomendasi dan Tuntutan Kopri PB PMII:

1. Kopri PB PMII mendorong pemerintah agar mengkaji ulang serta membatalkan kebijakan kenaikan pajak PPN 12%, karena kebijakan  tersebut apabila dipaksakan akan mematikan perekonomian masyarakat kelas menengah, kelas bawah dan terutama Perempuan dan Generasi Z sebagai basis utama advokasi dan pemberdayaan Kopri PMII.

2. Mendorong pemerintah agar memperketat penerapan Pajak Produksi Batubara, karena hal tersebut dapat membantu pertumbubahn perekononian nasional berupa pendapatan negara agar dapat digunakan untuk subsidi dalam kerangka program pro-rakyat seperti mempercepat program makan bergizi gratis, pendidikan dan penelian yang melibatkan kampus dan organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan.

3. Mendorong pemerintah agar memperketat Pajak Windfall Komiditas ekstraktif lainnya seperti Geogthermal dan sektor-sektor strategis lainnya sesuai Peja Jalan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam mendukung dan mempercepat perealisasian ekonomi hijau (green economic).

4. Mendorong pemerintah agar memperkecil potensi kebocoran dari pajak kelapa sawit, serta pemerintah diharapkan melakukan pengkajian ulang terhadap tata kelola sektor sawit agar memberikan deviden pada pendapatan negara untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

5. Mendorong pemerintah agar memperkuat penerapan pajak potensi dari kebocoran pajak sektor digital, pajak karbon, dan pajak makanan dan minuman yang teregistrasi pada BPOM Republik Indonesia.

 

Jakarta, 29 Desember 2024

Kopri PB PMII Bidang Kajian Ekonomi dan Perindustrian Periode 2024-2027

Zakya Nur Hafifah, Ketua Bidang

Septi Riana Putri, Sekretaris Bidang

Imelda Islamiyati, Bendahara Bidang