Nasib Raja Ampat dan Daftar Panjang Konflik Agraria: PB PMII Serukan Hentikan Model Pembangunan Eksploitatif

Jakarta, 9 Juni 2024 – Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menolak dengan tegas keberadaan dan perluasan tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat. Penolakan ini disampaikan oleh M. Farno, Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang PB PMII, dalam pernyataan sikap yang menyoroti dampak ekologis dan ketimpangan struktural akibat proyek pertambangan tersebut.
“Tambang bukan hanya ancaman ekologis terhadap salah satu ekosistem laut paling kaya di dunia, tetapi juga bentuk nyata dari ketidakadilan struktural yang terus-menerus terjadi terhadap masyarakat adat Papua,” tegas Farno.
Menurutnya, isu tambang di Raja Ampat tidak bisa dilepaskan dari konteks konflik agraria yang mengakar. Tanah dan ruang hidup masyarakat lokal kerap dirampas atas nama pembangunan dan investasi, tanpa memperhatikan keberlanjutan dan keadilan sosial.

Tanah, Identitas, dan Perampasan Ruang Hidup
Raja Ampat bukan hanya wilayah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi juga ruang hidup masyarakat adat yang memiliki ikatan historis, kultural, dan spiritual yang mendalam terhadap tanah dan laut mereka. Masuknya perusahaan tambang seringkali tanpa persetujuan penuh dari masyarakat adat—adalah bentuk kolonialisme modern yang direproduksi melalui kebijakan negara dan kekuasaan korporasi.
Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Tahun 2024 mencatat:
  • 295 konflik agraria, meningkat 21% dari tahun sebelumnya.
  • Luas lahan yang terdampak: 1,1 juta hektar.
  • Jumlah keluarga terdampak: 67.436 keluarga di 349 desa.
  • Jumlah korban: 556 warga, termasuk 399 kriminalisasi, 149 kekerasan fisik, 4 tertembak, dan 4 tewas akibat tindakan represif aparat.
Sektor pertambangan menjadi salah satu penyumbang konflik terbesar, dengan 41 letusan konflik mencakup 71.101,75 hektar dan melibatkan 11.153 keluarga yang terdampak.

Reformasi Agraria dan Pembangunan Berkeadilan
Dalam banyak kasus, konflik agraria di Indonesia berakar dari pengabaian terhadap hak ulayat masyarakat adat, serta lemahnya perlindungan hukum terhadap tanah adat. Negara yang terlalu condong pada kepentingan investasi telah mengorbankan kedaulatan rakyat atas ruang hidup mereka.
“Sudah saatnya negara menghentikan model pembangunan eksploitatif yang mengorbankan masyarakat adat. Reforma agraria sejati yang menjamin hak atas tanah bagi petani serta masyarakat adat Papua harus menjadi agenda utama,” lanjut Farno.
Farno juga menekankan bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber identitas, keberlanjutan hidup, dan martabat. Pembangunan ke depan harus menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama, dengan pendekatan berbasis kearifan lokal dan keberlanjutan ekologis.

Seruan PB PMII:
  1. Menolak tambang di Raja Ampat dan wilayah adat lainnya yang berpotensi menimbulkan konflik ekologis dan sosial.
  2. Mendesak penghentian kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya.
  3. Mendorong pemerintah segera melaksanakan **Reforma Agraria Sejati** yang berpihak pada rakyat, bukan korporasi.
  4. Menuntut evaluasi menyeluruh terhadap semua izin usaha di wilayah adat dan kawasan konservasi.
  5. 5Meminta negara meninjau ulang pendekatan pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya, yang terbukti menyisakan ketimpangan dan kerusakan ekologi jangka panjang.
“Tanah adalah warisan leluhur dan jaminan masa depan. Kita tidak bisa membiarkannya digadaikan atas nama investasi jangka pendek,” tutup Farno.