“Keputusan Indonesia bergabung BRICS adalah langkah strategis yang membutuhkan kehati-hatian. Peluang akses pasar dan penguatan posisi global menawarkan manfaat besar. Namun, tantangan seperti dominasi negara besar, perbedaan kepentingan diplomatik, dan proteksionisme dari negara maju perlu diantisipasi secara serius. Dengan strategi terukur, pendekatan diplomasi yang seimbang, hingga kesiapan domestik, Indonesia harus benar-benar mampu memanfaatkan BRICS untuk meningkatkan daya saing global tanpa mengorbankan nilai yang dianut selama ini seperti kemandirian dan prinsip keadilan internasional. Karena jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pion kecil bagi negara yang jauh adidaya di sana”
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) menawarkan peluang sekaligus tantangan baru yang tentu memerlukan kewaspadaan lebih disertai juga dengan analisis mendalam. Dengan posisi strategisnya di kawasan ASEAN, langkah ini berpotensi memberikan manfaat di bidang ekonomi, geopolitik, dan diplomasi. Namun, dinamika internal BRICS serta hubungan Indonesia dengan mitra global lainnya menghadirkan risiko yang harus diantisipasi dengan langkah cermat dan penuh pertimbangan.
Manfaat utama yang dapat diperoleh tentunya terkait diversifikasi mitra dagang dan investasi. Wahyudi dan Kurniadi (2024) menilai kerja sama dengan BRICS berpotensi meningkatkan ekspor agrikultur Indonesia, seperti kelapa sawit dan produk perkebunan lainnya. Selain itu, Rahman (2024) menyoroti bahwa BRICS, melalui New Development Bank (NDB), menawarkan pembiayaan untuk infrastruktur hijau yang mendukung target karbon netral Indonesia pada 2060.
Kerja
sama lintas negara dalam BRICS juga dapat mendukung inovasi teknologi digital
di Indonesia. Xin dan Mendonça (2025) menunjukkan bahwa e-commerce lintas negara di BRICS
dinilai dapat membantu internasionalisasi sektor UMKM, yang dapat diterapkan di
Indonesia untuk memperkuat daya saing globalnya. Selain itu, Haryono (2024)
mencatat bahwa keberadaan Indonesia di BRICS
dapat memperkuat pengaruhnya dalam membentuk tata kelola
ekonomi global.
Namun, ada sejumlah kekurangan hingga tantangan yang dapat memberi dampak signifikan bagi Indonesia. Amami (2024) mengkritik lemahnya kerangka kerja konkret BRICS dalam memberikan manfaat ekonomi yang merata. Negara-negara besar seperti China dan Rusia cenderung mendominasi agenda, sehingga negara anggota dengan ekonomi lebih kecil, seperti Afrika Selatan, sering kali tidak dapat memaksimalkan keanggotaannya (Bakhita, 2024). Pengalaman Afrika Selatan yang kini menghadapi defisit perdagangan besar dengan anggota BRICS lainnya menunjukkan bahwa kerja sama semacam ini tidak selalu menghasilkan manfaat yang diharapkan.
Wacana dedolarisasi misalnya yang menjadi salah satu agenda utama BRICS dalam upayanya mengurangi ketergantungan pada dolar AS sebagai mata uang utama perdagangan internasional. Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan sistem keuangan global yang lebih multipolar, dengan menggunakan mata uang lokal atau mata uang alternatif seperti yuan China dalam transaksi perdagangan. Ramiz (2024) mencatat bahwa dedolarisasi menjadi alat geopolitik BRICS untuk menantang dominasi ekonomi Barat, khususnya AS, yang telah lama memanfaatkan dolar sebagai instrumen kekuasaan ekonomi.
Namun, dedolarisasi menghadirkan tantangan besar, terutama bagi negara-negara ASEAN-5 yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina yang ekonominya sangat terintegrasi pasar global. A’yunin (2024) menunjukkan bahwa sebagian besar transaksi perdagangan ASEAN-5, termasuk investasi asing langsung (FDI) dan obligasi internasional, masih didominasi oleh dolar AS. Perubahan mendadak ke mata uang alternatif, seperti yuan Cina, dapat menciptakan ketidakstabilan finansial hingga pergantian dominasi, terutama jika infrastruktur keuangan untuk mendukung dedolarisasi belum sepenuhnya siap.
Di sisi lain, dedolarisasi juga bisa menjadi peluang bagi ASEAN-5 untuk memperkuat kerja sama intra-regional melalui penggunaan mata uang lokal. Manfaat utama dedolarisasi adalah mengurangi dampak volatilitas nilai tukar dolar terhadap ekonomi domestik. Dengan menggunakan mata uang lokal atau alternatif, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada cadangan devisa berbasis dolar untuk menstabilkan nilai rupiah. Wahyudi dan Kurniadi (2024) juga menyebut bahwa dedolarisasi dapat memberikan fleksibilitas bagi pelaku usaha di sektor agrikultur dan ekspor, yang sering kali menghadapi tantangan dari fluktuasi nilai tukar dolar.
Salah
satu pertimbangan penting bagi Indonesia sebelum memutuskan bergabung dengan
BRICS adalah dampak kebijakan proteksionisme yang pernah dilakukan Amerika Serikat, khususnya
pada masa pemerintahan Donald Trump. Kebijakan Trump yang terkenal dengan
pendekatan America First memperkenalkan
tarif perdagangan tinggi untuk sejumlah negara BRICS, seperti China, India, dan
Brasil. Kebijakan ini bertujuan melindungi industri dalam negeri AS dari kompetisi negara-negara berkembang yang dianggap
memiliki keunggulan biaya produksi rendah.
Dampak
dari kebijakan tarif ini menunjukkan kerentanan anggota BRICS terhadap tekanan
ekonomi eksternal, khususnya dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Stoletov (2024) menyoroti bahwa
langkah Trump dapat menyebabkan perlambatan ekspor beberapa anggota BRICS,
seperti China dan Brasil, yang mengandalkan pasar AS sebagai salah satu tujuan
utama ekspornya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun BRICS mencoba menawarkan
narasi de-dolarisasi dan independensi ekonomi dari negara maju, kenyataannya mereka
tetap bergantung pada pasar Barat untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik.
Bagi
Indonesia, kebijakan seperti ini menimbulkan kekhawatiran jika kebijakan
proteksionisme serupa diterapkan pada negara-negara BRICS di masa depan.
Sebagai negara dengan hubungan dagang yang kuat dengan AS dan Uni Eropa,
Indonesia perlu mempertimbangkan apakah bergabung dengan BRICS dapat memicu
respons proteksionis dari negara-negara maju, yang pada akhirnya dapat
merugikan ekonomi domestik. Bond (2025) memperingatkan bahwa bergabung dengan
blok ekonomi seperti BRICS dapat memperkuat persepsi Indonesia sebagai bagian
dari kelompok yang berpotensi bersaing dengan Barat, sehingga dapat memengaruhi
hubungan dagang strategis Indonesia dengan negara-negara maju.
Namun,
di sisi lain, kebijakan tarif tinggi yang diterapkan pada BRICS dapat menjadi
argumen untuk diversifikasi pasar ekspor.
Wahyudi dan Kurniadi
(2024) menyebut bahwa
ketergantungan Indonesia pada pasar Barat cukup tinggi, sehingga BRICS
dapat menjadi alternatif untuk memperluas akses pasar ke negara-negara seperti
India, Brasil, atau Afrika Selatan. Dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS, posisinya
sebagai pemain global yang mampu mengurangi
risiko ekonomi dari kebijakan proteksionis negara-negara maju.
Strategi
mitigasi yang dapat diambil adalah menjaga hubungan
dagang yang seimbang
dengan semua pihak. Indonesia
dapat tetap aktif dalam forum-forum global yang melibatkan negara-negara maju, seperti
G20, sambil memanfaatkan BRICS sebagai peluang untuk menjalin hubungan
dengan pasar berkembang lainnya. Pendekatan ini memastikan bahwa Indonesia
tidak sepenuhnya bergantung pada salah satu blok ekonomi, sehingga memberikan
fleksibilitas dalam menghadapi kebijakan proteksionis di masa depan.
Dengan
mempertimbangkan kebijakan tarif
Trump terhadap anggota BRICS, Indonesia perlu memastikan bahwa keputusannya bergabung
tidak hanya memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga meminimalkan
risiko geopolitik dan ekonomi jangka panjang. Diversifikasi pasar dan
pendekatan diplomasi yang seimbang menjadi kunci untuk menjaga stabilitas dan
keberlanjutan ekonomi Indonesia dalam lanskap global yang dinamis.
Dalam
mempertimbangkan keputusannya untuk bergabung dengan BRICS, Indonesia juga
harus mengevaluasi progres yang telah dicapai dalam proses integrasinya dengan
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Sebagai mitra
utama OECD, Indonesia telah terlibat aktif dalam berbagai program, termasuk
Framework for Investment Policy, Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), serta
inisiatif terkait pembangunan
berkelanjutan dan kebijakan fiskal.
Keterlibatan
Indonesia dalam OECD memberikan manfaat yang signifikan, khususnya dalam
membantu reformasi kebijakan ekonomi domestik agar lebih sesuai dengan standar
global. Rahman (2024) mencatat bahwa kerja sama OECD memungkinkan Indonesia
untuk mengadopsi kebijakan investasi yang lebih menarik bagi investor asing,
terutama di sektor infrastruktur dan energi. Selain itu, melalui kerja sama
teknis dengan OECD, Indonesia dapat mengatasi tantangan struktural seperti
transparansi pajak dan korupsi, yang menjadi hambatan dalam meningkatkan daya saing
global.
Namun,
peran aktif Indonesia dalam OECD juga membawa tantangan dalam memutuskan untuk
bergabung dengan BRICS. OECD dikenal sebagai organisasi yang didominasi oleh
negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, yang memiliki pendekatan ekonomi dan politik berbeda
dibandingkan dengan BRICS. Bergabungnya Indonesia ke BRICS dapat menciptakan persepsi bahwa negara ini memihak
kelompok yang lebih condong melawan dominasi Barat. Molou (2024)
menyoroti bahwa langkah seperti itu dapat menghambat progres kerja sama Indonesia dalam beberapa program OECD yang
mengutamakan transparansi dan tata kelola ekonomi berbasis aturan
internasional.
Risiko
lain adalah konflik nilai dalam diplomasi Indonesia. Bond (2025) menyoroti
bahwa keberadaan Rusia di BRICS menciptakan dilema bagi Indonesia, yang selama
ini mendukung prinsip kedaulatan negara. Bergabung dengan BRICS dapat dianggap
mendukung narasi Rusia, terutama
terkait invasinya ke Ukraina. Ramiz
(2024) juga memperingatkan bahwa upaya
de-dolarisasi yang dipimpin oleh BRICS dapat menciptakan ketergantungan baru
pada yuan China, yang berpotensi membahayakan stabilitas moneter Indonesia.
Sementara
China telah berhasil memanfaatkan BRICS untuk memperluas pengaruh geopolitik
dan ekonominya, Afrika Selatan menjadi contoh negara yang gagal memaksimalkan
peluang. Bakhita (2024) mencatat bahwa perdagangan intra-industri Afrika
Selatan dengan anggota BRICS lainnya masih lemah, dan ketergantungan pada impor
dari negara-negara tersebut memperburuk defisitnya.
Langkah
strategis yang dapat diambil Indonesia adalah memanfaatkan pendekatan selektif
dalam berhubungan dengan BRICS. Salah satu caranya adalah dengan menjalin kerja
sama bilateral yang lebih kuat dengan negara-negara anggota BRICS di
sektor-sektor prioritas, seperti
energi hijau, teknologi digital, dan pengembangan infrastruktur. Misalnya,
Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif Belt and Road China untuk mendanai
proyek-proyek strategis, sambil menjaga keseimbangan dengan mitra dagang utama
lainnya di luar BRICS. Selain itu, melalui kerja sama dengan New Development
Bank (NDB), Indonesia dapat mengakses pendanaan hijau tanpa harus sepenuhnya
bergabung dengan BRICS sebagai anggota penuh.
Indonesia
juga dapat mengambil posisi aktif dalam membentuk kerangka kerja yang lebih
inklusif di BRICS. Molou (2024) menyebut bahwa salah satu kelemahan BRICS
adalah dominasi negara-negara besar
seperti China dan Rusia, yang sering kali mendikte arah kebijakan kelompok.
Dengan terlibat secara aktif dalam dialog dan negosiasi, Indonesia harusnya
bisa mendorong pembentukan kebijakan yang lebih adil dan menguntungkan bagi
negara berkembang, termasuk bagi Indonesia sendiri.
Selain
itu, Indonesia perlu mengintegrasikan agenda BRICS dengan prioritas
nasionalnya, seperti pembangunan ekonomi hijau dan transformasi digital.
Haryono dan Utari (2024) menyarankan bahwa pendekatan berbasis proyek saja bisa
menjadi alternatif, di mana Indonesia hanya terlibat dalam inisiatif yang
sesuai dengan visi pembangunan jangka panjangnya. Misalnya, program pembiayaan energi terbarukan dan proyek teknologi
lintas batas
dapat diadopsi sebagai bagian dari strategi untuk mempercepat pencapaian target
pembangunan berkelanjutan.
Langkah
strategis Indonesia juga harus mempertimbangkan penguatan perannya dalam
Gerakan Non-Blok (NAM) dan Kelompok 77 (G77). Sebagai negara yang punya sejarah
panjang memimpin forum multilateral serta penggagas NAM, Indonesia memiliki
posisi unik untuk memanfaatkan platform-platform ini dalam menggalang
solidaritas negara-negara berkembang. NAM, yang beranggotakan lebih dari 120
negara menawarkan legitimasi yang lebih besar dibandingkan BRICS sebagai suara
utama Global South. Oxford Analytica (2024) mencatat bahwa revitalisasi peran
Indonesia dalam NAM punya potensi memperkuat kemampuan negara-negara berkembang
untuk menghadapi tantangan global secara kolektif, termasuk isu perdagangan
internasional, perubahan iklim, dan reformasi tata kelola ekonomi global.
Indonesia
juga dapat memanfaatkan G77, yang merupakan kelompok ekonomi terbesar di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk mendorong agenda-agenda strategis yang
menguntungkan negara berkembang. Dengan menonjolkan kepemimpinannya, Indonesia dapat
memperkuat posisi tawar kolektif negara-negara G77 dalam negosiasi
multilateral, terutama di bidang pembiayaan pembangunan dan pengurangan
ketimpangan global. Molou (2024) menunjukkan bahwa G77 memiliki potensi besar
untuk melawan dominasi hegemoni ekonomi negara maju jika dipimpin oleh
negara-negara dengan visi strategis seperti Indonesia.
Peran
yang kuat dalam NAM dan G77 tidak hanya membantu Indonesia menjaga kemandirian
diplomatik, tetapi juga memberikan alternatif dalam menghadapi potensi
dominasi negara-negara besar di BRICS. Dengan mendukung solidaritas di
antara negara-negara berkembang, Indonesia dapat mendorong pendekatan
multipolar yang lebih adil dan inklusif. Sebagai contoh, Davoli (2024)
menyebutkan karena kontribusimya lewat NAM, Indonesia dapat menggalang dukungan untuk agenda regional ASEAN sekaligus
memperluas pengaruhnya di tingkat global.
Di
sisi lain, hubungan strategis dengan NAM dan G77 dapat digunakan Indonesia
untuk mendorong kerja sama dengan BRICS secara lebih terukur. Misalnya, Indonesia dapat menjadi
penghubung antara G77 dan BRICS untuk memastikan bahwa kepentingan
negara-negara kecil dan berkembang tetap terwakili dalam kebijakan global.
Langkah ini memungkinkan Indonesia
memainkan peran ganda sebagai pemimpin kawasan Asia Tenggara sekaligus sebagai
pendukung solidaritas Global South.
Dengan
mengintegrasikan peran aktif dalam NAM dan G77 ke dalam strategi internasionalnya, Indonesia dapat
memperkuat posisi tawarnya di berbagai platform multilateral. Pendekatan ini
tidak hanya akan menjaga kemandirian diplomatik Indonesia, tetapi juga
memastikan bahwa kepentingan nasional dan globalnya terakomodasi secara seimbang
dalam dinamika geopolitik internasional yang semakin kompleks. Strategi ini
menjadi kunci untuk mengelola hubungan dengan BRICS, tanpa mengorbankan
komitmen terhadap prinsip-prinsip kedaulatan dan keadilan global yang telah
lama dipegang Indonesia.
Sebagai
langkah tambahan, Indonesia dapat meningkatkan perannya di organisasi lain
seperti ASEAN untuk menjaga keseimbangan dalam hubungan globalnya. Davoli
(2024) menunjukkan bahwa BRICS tidak
dapat menggantikan peran ASEAN dalam mendukung stabilitas kawasan. Dengan
memperkuat kepemimpinannya di ASEAN, Indonesia dapat menjaga kemandirian
diplomatik dan menggunakan ASEAN sebagai platform untuk mempromosikan kerja sama
dengan BRICS secara lebih strategis.
Langkah
strategis terakhir adalah memastikan kesiapan
domestik untuk memanfaatkan peluang dari BRICS. Ini mencakup reformasi regulasi, peningkatan
daya saing UMKM, dan penguatan sektor pendidikan serta inovasi teknologi.
Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya menjadi penerima manfaat pasif,
tetapi juga menjadi aktor aktif yang mampu memanfaatkan dinamika global untuk
mendukung pembangunan nasionalnya. Strategi yang seimbang dan terukur ini akan
memungkinkan Indonesia mengelola risiko dan memaksimalkan potensi manfaat dari
keterlibatan dengan BRICS.
Dengan
strategi yang hati-hati dan terukur, Indonesia dapat
memanfaatkan peluang kerja
sama internasional tanpa kehilangan kemandirian ekonomi dan
diplomatiknya. Pengalaman negara anggota BRICS menunjukkan bahwa keanggotaan
saja tidak cukup; kesuksesan tergantung pada kemampuan negara memanfaatkan
peluang secara efektif dan mengelola risikonya
secara bijak.
Daftar Pustaka:
Amami,
N. H. (2024). ALASAN INDONESIA MENOLAK BERGABUNG DALAM BRASIL, RUSIA, INDIA, TIONGKOK, AFRIKA SELATAN (BRICS) 2023 (Doctoral dissertation,
Universitas Andalas).
A'YUNIN,
Q. U. R. R. O. T. A. (2024). A PROPOSED FORMATION FOR A SINGLE CURRENCY AREA IN ASEAN-5
COUNTRIES BASED ON COMMODITY CURRENCIES
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta).
Bakhita, I. E. (2024). Assessing Intra-Industry Trade Indices And Determinants: A Comparative Analysis Between Indonesia And BRICS Nations (Doctoral dissertation, Universitas Andalas).
Bond, P. (2025). Rising Dangers of Imperial-Sub-Imperial Partnering: Indonesia and BRICS Relations. CADTM. Retrieved from cadtm.org
Davoli,
S. (2024). Comparing East and West: The Collections of Enrico Cernuschi. In Japanese
Art–Transcultural Perspectives (pp. 457-485). Brill.
Haryono,
H. (2024). The Evolution of the BRICS Trade Alliance: Analysing Strategic
Partnerships and Economic Interdependence in the Global South. The Es Economics
and Entrepreneurship, 3(02), 202-208.
Haryono, H., Utari, W., Rahmawati, D. A., Endarto, B., & Sanusi, R. (2024). Evaluating the Role of BRICS in Shaping Global Economic Governance: A Comparative Analysis of Policy Approaches and Outcomes. The Es Economics and Entrepreneurship, 3(02), 172-179.
Molou, M. F. (2024). Strategi BRICS Menyeimbangkan Tata Kelola Global Melawan Dominasi Hegemoni Barat (Doctoral dissertation, Universitas Kristen Indonesia). Retrieved from uki.ac.id
Muslim, M., & Permatasari, D. (2024). Strategi dan Peluang Indonesia dalam Kerja Sama BRICS untuk Memperkuat Keamanan Ekonomi Nasional. Jurnal Keamanan Nasional, 10(2), 205-234.
Nurmaulidia, K. R., Listari, S. P., Aulia, Y. V., Rosyada, A., & Febriani, M. (2024). Analisis Perkembangan Ekonomi Syariah Di Asia Tenggara Pasca Berdirinya BRICS. Journal of Economics and Business, 2(2), 238-246.
Oxford Analytica. (2024). BRICS and Southeast Asia: Indonesia's Potential Membership and Strategic Implications. Emerald Expert Briefings. Retrieved from emerald.com
Oxford Analytica. (2024). Indonesia’s Efforts to Strengthen Ties with Russia and BRICS Countries. Emerald Expert Briefings. Retrieved from emerald.com
Rahman, M. D. F. (2024). Pertumbuhan ekonomi hijau: penerapan metode model pada Negara-Negara G7, Brics, dan Indonesia. Retrieved from repository.unpar.ac.id
Ramiz, T. A (2024) Multipolar Shift: Assessing BRICS’ Pursuit of De-Dollarization and Its Global Implications. ResearchGate. Retrieved from researchgate.net
Stoletov, O. V. (2024). China’s Geoeconomic Strategy in the Context of the “Awakening” of the Global South. Vestnik RUDN. International Relations, 24(3), 329-344.
Wahyudi,
& Kurniadi, N. (2024). Export-Import Analysis of the Agricultural Sector in September 2024. Policy Brief. Retrieved
from ResearchGate.com
0 Comments