Reforma Agraria, Sudahkah Memihak Kaum Marjinal?

Oleh: Ahmad Latif (Ketua PB PMII Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik)

Di berbagai belahan dunia, reforma agraria merupakan jawaban yang muncul terhadap berbagai ketimpangan struktur agraria, kemiskinan dan secara beragam mengimplementasikan reforma agraria sesuai dengan struktur dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dianut masing-masing. Terdapat kesamaan pandang dalam meletakan konsep dasar pembaharuannya: keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Menurut Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang dimaksud dengan Reforma Agraria adalah “penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia”.

Pengertian land reform menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok – Pokok Agraria meliputi pengertian yang luas atau dapat disebut Agrarian Reform, mencakup tiga masalah pokok, yaitu :

a. Perombakan dan pembangunan kembali sistem kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Tujuannya yaitu melarang adanya groot grond bezit, pemilikan tanah yang melampaui batas, sebab hal yang demikian akan merugikan kepentingan umum. Azas ini tercantum dalam Pasal 7, 10, dan 17 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok – Pokok Agraria.

b. Perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan atas tanah disebut landuse planning, asas – asas nya tercantum dalam Pasal 14 dan 15 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok – Pokok Agraria.

c. Penghapusan Hukum Agraria Kolonial dan pembangunan Hukum Agraria Nasional.


Tujuan Reformasi Agraria

Reformasi Agraria (Landreform) mempunyai tujuan yang sangat luas yakni dari aspek sosial ekonomis, sosial politis, dan mental psikologis:

Pertama Sosial ekonomis

Tujuan sosial ekonomis dalam reformasi agraria adalah memperbaiki sosial ekonomi dengan memperkuat hak milik serta memberi fungsi sosial pada hak milik. Serta memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

Kedua Sosial politis

Aspek sosial politis dalam reformasi agraria merupakan upaya untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas dan mengadakan pembagian yang adil atas sumber- sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil dan taraf hidup rakyat.

Ketiga Mental psikologis

Mental psikologis petani penting di tingkatkan agar memiliki gairah kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah. Selain itu, menyal psikologi penting dibangun untuk memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria pada Pasal huruf (a), (b), (c), (d), (e), (f), (g), tujuan reforma agraria sendiri adalah:

a. mengurangi penguasaan

tanah dan dalam ketimpangan pemilikan rangka menciptakan keadilan;

b. menangani Sengketa dan Konflik Agraria;

c. menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;

d. menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;

e. memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;

f. meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan

g. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.


Implementasi Reforma Agraria

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria nyatanya belum menjadi cerminan ideal dalam implementasinya, nyatanya sampai saat ini sengketa terkait dengan pertanahan masih sangat banyak dan dinilai proses penyelesaianya sampai saat ini masih sangat minim. Masih banyak sengketa – sengketa pertanahan, dan bahkan konflik pertanahan yang hingga saat ini masih belum ada titik temu, yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat. Dalam penanganan dan pengurusan masalah pertanahan, baik itu sengketa maupun konflik pertanahan di daerah, peran pemerintah daerah sangat minim, bisa dibilang hampir tidak ada. 

Selama ini pemerintah daerah hanya fokus dalam pemberian izin kepada perusahaan – perusahaan perkebunan yang tergolong besar. Di sisi lain, dalam penanganan sengketa maupun konflik pertanahan, pemerintah daerah justru terkesan setengah hati dalam menyelesaikannya.

Sebagai contoh kasus, pada tahun 2016, terjadi konflik agraria antara masyarakat Danau Lancang Kecamatan Tapung Hulu dengan PT. Inti Kamparindo Sejahtera (IKS) yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Danau Lancang Kecamatan Tapung Hulu, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau. Permasalahan dari konflik tersebut adalah tentang lahan yang digarap teryata lahan yang di garap oleh perusahaan itu lahan peladangan dan tanah ulayat, disampaikan bahwa lahan peladangan atau tanah ulayat tersebut sampai saat ini belum ada ganti rugi.