Oleh: Satya Graha Habibilah, S.Sos*
*Akademisi Hubungan Internasional dan Bidang Hubungan Internasional PB PMII
Jakarta, - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mengguncang tatanan perdagangan global. Melalui kebijakan tarif resiprokal yang berlaku mulai 5 April 2025, lebih dari 180 negara dan wilayah, termasuk Indonesia, dikenakan tarif impor baru. Tarif ini tidak main-main—untuk Indonesia, tarif yang dikenakan mencapai 32 persen, jauh di atas tarif dasar 10 persen yang diberlakukan secara umum.
Bagi Indonesia, kebijakan ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal strategi bertahan di tengah badai proteksionisme global. Produk unggulan kita seperti tekstil, alas kaki, karet, hingga komponen elektronik akan terpukul. Harga jual di pasar Amerika menjadi lebih mahal, daya saing menurun, dan dampaknya mulai terasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok lebih dari 9 persen sehari setelah pengumuman kebijakan ini, memicu trading halt. Investor mulai gelisah, pasar bergejolak.
Namun apakah ini akhir dari cerita? Tidak.
Pengalaman dari perang dagang jilid pertama antara AS dan Tiongkok pada 2018–2020 memberi kita pelajaran berharga. Saat itu, Indonesia mampu memanfaatkan celah yang ada: mengisi kekosongan pasar AS yang ditinggalkan produk Tiongkok, dan menarik sebagian investasi relokasi industri. Meski tidak seagresif Vietnam, kita tetap memperoleh manfaat. Kini, di perang dagang jilid dua, medan tempurnya lebih luas dan aturannya lebih ketat. Maka strategi kita pun harus lebih cerdas.
Pendekatan Indonesia yang memilih diplomasi daripada retaliasi adalah langkah yang tepat. Di saat negara-negara besar seperti Cina dan Uni Eropa memilih menaikkan tarif balasan, Indonesia membuka jalur negosiasi. Ini bukan sikap lemah, melainkan strategi jangka panjang. Kita perlu menunjukkan bahwa tarif kita terhadap produk AS tidak diskriminatif. Bahkan, berdasarkan data dari USTR, rata-rata tarif Indonesia pada 2023 hanya 8,6% untuk produk pertanian dan 7,9% untuk non-pertanian—jauh dari tudingan sebagai negara dengan hambatan dagang tinggi.
Sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), kita memandang bahwa respons negara terhadap kebijakan proteksionis ini harus mencerminkan keberpihakan kepada rakyat kecil, buruh, petani, dan pelaku UMKM yang bisa terdampak langsung dari tekanan global ini. PMII sebagai gerakan kaderisasi intelektual-kerakyatan meyakini bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tidak boleh hanya melayani diplomasi elit, tetapi juga harus memikirkan ketahanan ekonomi rakyat secara riil. Kami mendorong pemerintah untuk memperkuat industri substitusi impor, membuka jalur distribusi alternatif bagi komoditas terdampak, serta memastikan transfer teknologi dalam setiap investasi yang masuk sebagai hasil dari relokasi industri.
Di tengah arus deras de-globalisasi, Indonesia juga perlu memanfaatkan momentum ini untuk menguatkan kerja sama perdagangan non-AS: dari BRICS, RCEP, hingga IEU-CEPA. Dunia butuh pasar alternatif, dan Indonesia bisa jadi simpul penting dalam rantai nilai global yang baru.
Yang tak kalah penting, kita juga harus siap menghadapi limpahan produk murah dari negara-negara industri raksasa yang mencari pasar baru karena overcapacity. Tanpa kebijakan anti-dumping yang kuat, pasar kita bisa jadi korban banjir barang murah dan memukul industri dalam negeri.
Amerika boleh menggunakan tarif sebagai alat diplomasi koersif, tapi Indonesia bisa merespons dengan cerdas memperkuat daya saing, memperluas pasar, dan tetap menjunjung politik luar negeri bebas aktif yang berpihak pada kepentingan nasional. Karena pada akhirnya, di dunia yang makin multipolar ini, daya tahan bangsa tidak hanya diukur dari siapa lawan kita, tapi seberapa tangguh strategi kita.
Foto Kolase Presiden AS, Donald Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto. Sumber: Apps Canva.