Berselancar Menuju Indonesia Emas 2045: Refleksi Harlah PMII ke-64 Tahun


“Kalau ada junior bertanya soal distribusi kader, siram ia dengan air satu sumur. Mungkin ia sedang mengigau. Seorang kader bukanlah orang yang gemar merengek ketakutan menghadapi masa depan. Ia cukup meyakini dirinya bermakna maka ia akan hidup dan tumbuh di manapun”.

Kata-kata di atas penulis kutip dari meme yang beredar di media sosial kader PMII, dengan tambahan foto sahabat Dwi Winarno yang melegenda di sampingnya. Entah itu benar atau tidak berasal kata-kata beliau, bukan jadi soal. Namun tampaknya, dari kalimat lugas dan tegasnya, sambil membayangkan beliau sedang menyiram air satu ember nasihat ke kader PMII dengan gayanya yang nyentrik, itu benar kata-kata Bang Dwi. Wajar jika beliau banyak fansnya, termasuk penulis.

Tak terasa usia organisasi kita tercinta sudah mencapai usia 64 tahun. Penulis pun mengucap syukur alhamdulillah, ikut bangga menjadi bagian dari proses panjang pembelajaran, dan pengabdian yang begitu manfaat bagi penulis juga mungkin kader-kader PMII pada umumnya. Pengalaman panjang sedari Mahasiswa ini mungkin tidak terulang lagi untuk usia yang terus berlanjut, sehingga sudah selayaknya kita memberikan, dan berbuat yang terbaik untuk diri dan organisasi.

Bagi penulis, PMII sebagai organisasi  - meminjam istilah Marx - sebagai Surplus Value (nilai tambah). Di samping kita sebagai mahasiswa belajar matakuliah di kampus, PMII telah banyak memberikan bekal jaringan dan seperangkat nilai untuk sumber daya manusia (SDM) penghuninya. Supaya nanti terbentuk sesuai dengan cita-cita yang telah digoreskan, yakni sebagai citra diri kader ‘Ulul Albab’, yang berupa karakter kepemimpinan spiritual, kepemimpinan intelektual, dan kepemimpinan gerakan. Kelebihan inilah yang kemudian menjadi Surplus Value bagi kader-kader PMII.

Namun bukan tanpa tantangan, untuk menghadapi masa depan bangsa yang akan datang - khususnya tren Visi Indonesia Emas 2045 - banyak hal yang pelan-pelan harus mulai dieksekusi untuk menyambut 100 tahun kemerdekaan Indonesia tersebut. Sebagai kader PMII kita tidak boleh hanya sebagai penonton atau hanya salah satu penyumbang bonus demografi Indonesia. Di masa itu, PMII mungkin saja dihadapi dengan beragam situasi yang sebelumnya belum pernah terjadi. Kehidupan sosial, ekonomi, politik semakin kompleks. Wawasan kebangsaan, pendidikan anti Korupsi, dan penguatan karakter kira-kira masih menjadi jangkar utama untuk menjaga kualitas SDM unggul generasi muda ke depan. 

Fakta di lapangan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 tidaklah mudah, nyatanya seperti yang disebut dalam rilis CNBC Indonesia, dalam konteks pendidikan, tingkat mutu pendidikan di Indonesia belum membaik secara signifikan setelah badai Covid-19 menyerang, meskipun anggaran pendidikan naik terus setiap tahunnya. Hal tersebut berdasarkan Organizatioan for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui Program for International Student Assessment (PISA), yang hasilnya adalah skor literasi membaca Indonesia tahun 2022 menjadi salah satu yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya.

Di atas adalah fakta yang tidak bisa dihindari, tapi di satu sisi, kita harus optimis dan punya mimpi bahwa PMII mampu menjadi bagian dari aktor utama mencetak SDM unggul untuk mengisi Indonesia Emas 2045 nanti. PMII sudah membekali kita dengan nilai Tri Komitmen, Tri Motto, dan Tri Khidmah. Untuk itu, ragam bekal tadi tidak boleh hanya untuk dihapal, melainkan diartikulasikan dalam tindakan kongkrit untuk menjawab tantangan masa depan. 

Misal, organisasi telah memberikan berkah jaringan untuk kita bisa masuk ke ruang-ruang strategis. Namun sejatinya keberkahan tersebut wajib diikuti oleh kemampuan keterampilan yang kita punya, mendiang almarhum Sekjen Rafsanjani sering menyebutnya dengan menggunakan istilah Meritokrasi di tubuh PMII. Dari mana sumber keterampilan itu? Yang pertama tentu berasal dari jurusan yang kita ampu sejak kuliah, dan kedua adalah soft skill yang kita pelajari sampingan selama ber-PMII. Kadang-kadang atas nama ‘pengabdian’ terhadap organisasi, pribadi penghuni hanya getol menceritakan pengabdiannya sebagai benteng utama untuk menutupi kekurangan yang dimiliki. 

Padahal, penguatan karakter dan keterampilan pengembangan diri sama fardlu ‘ain-nya dengan mengurus organisasi. Justru, keterampilan menjadi yang kita dapatkan untuk memperpanjang masa jaringan yang kita punya. Kita mesti uji sesekali, agar seseorang mau mengakui kapasitas kita sebagai kader PMII bukan melulu karena kesamaan latar belakang organisasi, melainkan atas dasar keterampilan yang kita miliki. Lupanya terhadap pengembangan diri personal akan memunculkan turbulensi di kemudian hari. Fenomena inilah yang kemudian membuat gusar Sahabat Dwi Winarno, atau mungkin senior PMII lainnya sehingga muncul meme tersebut di media sosial.

Dengan bekal yang diberikan PMII untuk kita, sahabat Addin Jauharudin (Ketua Umum PB PMII 2011-2014/kini Ketum PP GP Ansor) di sela-sela waktu senggang kita diskusi menyebutkan, bahwa menjadi kader PMII adalah kuat secara ideologi, spiritual, kompeten, dan profesional. Dengan kata lain, menjadi kader PMII adalah teguh dalam prinsip, lentur dalam strategi; disiplin dalam beragama, disiplin dalam berorganisasi, fleksibel, dan adaptif dengan hal-hal baru, selalu produktif dan inovatif dan mudah berkolaborasi dengan siapapun sepanjang sesuai dengan tujuan, dan cita-cita besar PMII, dan bangsa Indonesia.

Dalam teori speed of trust yang dijelaskan Steven Covey, disebutkan bahwa keterampilan merupakan salah satu dasar dari beberapa hal seseorang mau percaya dengan kita, begitupun sebaliknya. Sebab, keterampilan membantu karakter seseorang menjadi orang yang disiplin, mau belajar, dan memiliki percaya diri yang kuat serta kemampuan kerja secara profesional. Kedispilinan yang muncul merupakan hasil dari pengetahuan yang dimiliki, serta keinginan mewujudkannya secara kongkrit.

Buktinya, keterampilan yang dimiliki oleh personal tidak hanya bermanfaat bagi pribadi, tapi juga bagi lingkungan dan cara kerja organisasi. Dalam hal ini misalnya, kader-kader PMII yang menyusun perangkat E-PMII, telah memaksimalkan keterampilannya untuk kemaslahatan inovasi kerja organisasi. Meskipun tidak lepas dari kurang dan lebih yang dimilikinya, paling tidak E-PMII membantu melahirkan disiplin kerja organisasi berbasis teknologi. Sehingga diharapkan pengelolaan organisasi sangat responsif dengan perkembangan zaman dan teknologi secara cepat. 

Dari E-PMII saja, berkah output lainnya yang muncul adalah, kita sejak ber-PMII mampu belajar proses digitalisasi organisasi, dan terbiasa mengurusnya secara online. Tidak hanya itu, pengetahuan personal kader tentang Internet of Think (IoT) secara perlahan-lahan mulai tumbuh. Bukankah sekarang sudah serba online? Kedisiplinan inilah yang kemudian membawa kita optimis bahwa PMII bisa menjadi bagian strategis masa depan bangsa. Kita ditempa untuk tidak hanya penguasaan ideologi dan pembentukan karakter yang Ulul Albab, tapi kita juga terbuka terhadap dinamika perkembangan zaman dengan cara kerja organisasi yang disiplin.

Selain itu, tantangan kepemimpinan untuk mencapai visi Indonesia Emas juga dipertaruhkan. Bahwasannya, untuk mencapai visi yang besar sangat tidak mungkin dilakukan oleh seorang diri. Inilah yang kemudian menjadi dasar bahwa mengelola organisasi harus dengan mindset yang terbuka, inovasi dan kolaborasi. Maxwell (2011) mengatakan kepemimpinan yang baik bukan untuk mengembangkan diri sendiri saja, melainkan mengembangkan mengembangkan sumber daya yang kita punya.

Untuk mempersiapkan menuju visi Indonesia Emas - selain penguatan karakter – segala macam potensi sumber daya yang dimiliki PMII harus tersalurkan dengan baik. Kalau boleh penulis sebut, perlu ada kanalisasi potensi. Upaya ini bukan tidak boleh menggabungkan potensi kader satu dengan yang lainnya, melainkan masing-masing dibuatkan wadahnya untuk mengeksplorasi kemampuan dan minat bakat yang dimilikinya. 

Di periode PB PMII ini, langkah-langkah strategis tersebut perlahan-lahan muncul seperti adanya lembaga profesi dan strategis, adanya LBH, adanya Pemantau Pemilu, Pusat Studi IKN PB PMII semuanya dalam upaya melahirkan kemampuan fakultatif dan minat bakat yang dimiliki kader, serta ketajaman dalam merespon sebuah isu. Ruang-ruang strategis tadi adalah cara lentur dalam strategi mengakomodir dan melakukan sebuah inovasi baru.

Kanalisasi potensi juga bagian dari upaya mengakomodir seluruh potensi, dan ragam jurusan kader yang dimiliki oleh PMII. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai kader PMII untuk mencari alternatif, dan solusi atas PR yang ada. Output dari kanalisasi potensi ini adalah upaya tidak melulu melahirkan kader dengan minat sebagai pemimpin politik saja, melainkan melahirkan banyak kader yang menjadi apapun yang dapat bermanfaat untuk masa depan bangsa, terserap dalam ruang-ruang strategis yang ada. 

Dus, bila sahabat masih “bingung” ber-PMII untuk menjadi apa? Dan akan dapat jabatan apa? Sebaiknya di momen Harlah ini, kita sama-sama refleksikan kembali apa yang sebenarnya menjadi potensi, dan keterampilan yang kita miliki untuk masa depan nanti. Untuk persiapan berselancar menuju visi Indonesia Emas 2045, sebagai kader PMII kita perlu penguatan pendidikan karakter (ideologisasi, disiplin, anti korupsi, state engineering), serta kanalisasi potensi kader berbasis inovasi dan kolaborasi dengan tidak menafikan realitas sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan saat ini. Dengan metode dan strategi yang ada, PMII tidak menjadi bagian dari “mimpi buruk” bonus demografi, melainkan sebagai aktor yang menjadikan bonus demografi berkah dengan terus melahirkan SDM unggul berbasis kepemimpinan spiritual, kepemimpinan intelektual, dan kepemimpinan gerakan untuk masa depan Indonesia.

Penulis: Muhammad Rohim Hidayatullah, Ketua Bidang Aparatur PB PMII

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *