Pendahuluan
Kegelisahan Kolektif di Ruang Digital dan Ruang Publik
Kajian disusun sebagai respons intelektual terhadap
gejolak sosial yang mencapai puncaknya pada Agustus-September 2025. Gelombang
protes yang melanda berbagai kota di Indonesia bukanlah sebuah peristiwa
tunggal, melainkan manifestasi dari akumulasi kekecewaan dan krisis kepercayaan
publik terhadap institusi negara. Pemicu utamanya adalah kombinasi dari ketidakpekaan
elite politik yang tecermin dari pengesahan tunjangan perumahan mewah bagi
anggota DPR di tengah himpitan ekonomi rakyat, dengan brutalitas aparat yang
kasat mata, terutama insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang
pengemudi ojek online, akibat terlindas kendaraan lapis baja kepolisian.
Peristiwa ini menjadi simbol betapa jauhnya jarak antara negara dengan realitas
kehidupan warganya.
Di tengah eskalasi tersebut, muncul sebuah fenomena
pergerakan sosial modern yang dimotori oleh kekuatan digital: "17+8
Tuntutan Rakyat". Diinisiasi oleh koalisi yang cair antara influencer,
organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan serikat buruh, gerakan ini berhasil
mengkristalisasi beragam aspirasi publik yang sebelumnya tersebar menjadi
sebuah agenda politik yang koheren dan terstruktur. Platform media sosial
menjadi arena utama mobilisasi dan amplifikasi isu, menunjukkan pergeseran
lanskap demokrasi di mana "suara jalanan" kini bergema kuat melalui
kanal-kanal digital, menuntut respons yang cepat dan substantif dari para
pemangku kebijakan. Tuntutan ini secara komprehensif menyasar akar persoalan di
bidang ekonomi, hukum, dan reformasi kelembagaan, yang kemudian menjadi
kerangka analisis utama dalam kajian ini.
Kajian ini memposisikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai jembatan intelektual yang menghubungkan energi gerakan sosial dengan ruang-ruang perumusan kebijakan. Tujuannya bukan sekadar merangkum tuntutan, melainkan membedahnya secara akademis, menyediakan fondasi data yang mutakhir, dan merumuskannya ke dalam rekomendasi kebijakan yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Paradigma yang digunakan adalah kritis-transformatif: sebuah pendekatan yang tidak berhenti pada kritik atas kebijakan yang ada, tetapi melampauinya dengan menawarkan alternatif solusi yang berakar pada dua pilar fundamental bangsa, yakni nilai-nilai Keindonesiaan (Pancasila dan UUD 1945) dan nilai-nilai Keislaman (Ahlussunnah wal Jama'ah an-Nahdliyah). Dengan demikian, kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan advokasi yang strategis dan berbobot bagi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Bagian I
Paradoks Ketenagakerjaan;
Antara Janji Lapangan Kerja dan Realitas Badai PHK
1.1. Kontradiksi Data:
Ilusi Pemulihan Ekonomi di Tingkat Makro
Pemerintah secara konsisten menyajikan narasi pemulihan dan penguatan pasar kerja nasional. Narasi ini didukung oleh data statistik makro yang menunjukkan penciptaan 3,59 juta lapangan kerja baru antara Februari 2024 dan Februari 2025, serta penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dari 4,82% menjadi 4,76% pada periode yang sama. Di atas kertas, angka-angka ini menciptakan sebuah ilusi bahwa kondisi ketenagakerjaan di Indonesia sedang bergerak ke arah yang positif.
Namun, narasi makroekonomi tersebut bertabrakan secara diametral dengan realitas yang dialami oleh para pekerja di tingkat mikro. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode yang sama justru menunjukkan sebuah anomali yang mengkhawatirkan: di balik penurunan persentase TPT, jumlah absolut pengangguran justru meningkat dari 7,19 juta menjadi 7,28 juta orang. Artinya, terdapat penambahan 83.000 penganggur baru dalam satu tahun. Kontradiksi ini semakin diperparah oleh data Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang menunjukkan eskalasi yang signifikan. Hingga 20 Mei 2025, tercatat 26.455 pekerja telah di-PHK. Angka ini, yang baru mencakup kurang dari separuh tahun, sudah melampaui sepertiga dari total angka PHK sepanjang tahun 2024 yang mencapai 77.965 orang. Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta menjadi episentrum dari gelombang PHK ini, menegaskan bahwa krisis ketenagakerjaan terkonsentrasi di pusat-pusat industri dan ekonomi.
Fenomena ini menunjukkan adanya sebuah paradoks
pertumbuhan tanpa penyerapan tenaga kerja yang berkualitas. Penurunan TPT yang
dibarengi dengan kenaikan jumlah pengangguran absolut mengindikasikan bahwa
pertumbuhan angkatan kerja (yang mencapai 3,67 juta orang) tidak diimbangi oleh
penciptaan lapangan kerja formal yang memadai dan berkualitas. Lapangan kerja
yang tercipta kemungkinan besar bersifat informal, paruh waktu, atau
berkualitas rendah, yang tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja baru dan
para korban PHK. Ini adalah gejala klasik dari jobless growth atau
pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif. Pemerintah, dengan berfokus pada
indikator persentase (TPT), berisiko terjebak dalam "ilusi statistik"
dan gagal menangkap kerapuhan pasar kerja yang sesungguhnya. Ketidaksesuaian
antara narasi resmi pemerintah dengan pengalaman hidup masyarakat inilah yang
menjadi salah satu bahan bakar utama bagi ketidakpercayaan dan kemarahan
publik.
Tabel
1: Paradoks Data Ketenagakerjaan Indonesia (Februari 2024 vs. Februari 2025)
Indikator |
Februari 2024 |
Februari 2025 |
Perubahan & Analisis |
Angkatan Kerja |
149,38 Juta |
153,05 Juta |
Naik 3,67 Juta (Bonus demografi yang
menjadi tantangan penyerapan) |
Penduduk Bekerja |
142,19 Juta |
145,77 Juta |
Naik 3,59 Juta (Pertumbuhan lapangan
kerja lebih rendah dari pertumbuhan angkatan kerja) |
Jumlah Pengangguran (Absolut) |
7,19 Juta |
7,28 Juta |
Naik 83.000 orang (Menunjukkan kegagalan
penyerapan tenaga kerja secara riil) |
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) |
4,82% |
4,76% |
Turun 0,06% (Indikator persentase
yang menutupi realitas kenaikan jumlah pengangguran) |
Jumlah Korban PHK (Jan-Mei) |
~24.036 (s/d April 2024) |
26.455 (s/d Mei 2025) |
Tren Meningkat Tajam (Menunjukkan kerapuhan
pasar kerja yang semakin parah) |
Sumber: Olahan data dari
BPS dan Kemnaker |
1.2. Analisis Akar Masalah:
Kombinasi Tekanan Global dan Deregulasi Domestik
Gelombang PHK yang terjadi pada tahun 2025 tidak
disebabkan oleh faktor tunggal, melainkan kombinasi kompleks antara tekanan
eksternal dan kerapuhan struktural di dalam negeri. Dari sisi eksternal,
perlambatan ekonomi global, terutama di negara-negara tujuan ekspor utama
seperti Amerika Serikat dan Eropa, secara langsung menekan sektor industri yang
berorientasi ekspor. Di sisi domestik, pelemahan daya beli masyarakat yang
tercermin dari data deflasi pada Mei 2025, ditambah dengan serbuan produk
impor, menciptakan tekanan ganda bagi industri nasional. Sektor-sektor padat
karya seperti tekstil, alas kaki, dan manufaktur menjadi yang paling terpukul
oleh kombinasi faktor ini.
Di tengah tekanan tersebut, kerangka regulasi
ketenagakerjaan yang ada, khususnya Undang-Undang Cipta Kerja, justru berperan
sebagai akselerator krisis, bukan sebagai solusi. UU Cipta Kerja dan peraturan
turunannya, yang dirancang dengan dalih untuk menarik investasi melalui
"fleksibilitas" pasar kerja, dalam praktiknya telah menciptakan
kondisi kerja yang semakin rentan dan tidak pasti (precarity). Regulasi
ini secara signifikan memperluas cakupan jenis pekerjaan yang dapat
dialihdayakan (outsourcing) tanpa batasan yang jelas, mengubah formula
pesangon menjadi lebih rendah, dan menyederhanakan prosedur PHK. Akibatnya,
serikat buruh secara konsisten menyuarakan tuntutan revisi terhadap klaster
ketenagakerjaan, termasuk pembatasan praktik outsourcing, pengembalian
opsi libur dua hari dalam seminggu, dan perumusan skema upah yang lebih adil.
Kondisi ini menciptakan sebuah rantai sebab-akibat yang destruktif. Ketika perusahaan menghadapi tekanan ekonomi, UU Cipta Kerja menyediakan jalan keluar yang paling mudah dan murah secara hukum: melakukan efisiensi dengan mem-PHK pekerja tetap dan menggantinya dengan pekerja kontrak atau outsourcing yang lebih murah, tidak memiliki jaminan kerja, dan minim kompensasi. Dengan demikian, UU yang awalnya bertujuan menciptakan lapangan kerja justru menjadi instrumen yang melegitimasi dan mempercepat laju PHK massal. Hal ini secara langsung bertentangan dengan tujuan awal UU tersebut dan menjadi pemicu utama tuntutan kaum buruh dalam gelombang aksi massa.
1.3. Evaluasi Jaring
Pengaman Sosial: JKP sebagai Solusi Tambal Sulam
Sebagai respons terhadap meningkatnya PHK, pemerintah
merevisi skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) melalui Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 6 Tahun 2025. Kebijakan ini menaikkan manfaat uang tunai bagi
pekerja yang ter-PHK menjadi 60% dari upah terakhir selama enam bulan, sebuah
peningkatan signifikan dari skema sebelumnya. Namun, di balik niat baik
tersebut, efektivitas program ini sebagai jaring pengaman sosial yang
komprehensif masih sangat diragukan.
Lonjakan tajam klaim JKP pada Kuartal I 2025, yang
mencapai 100,6% secara tahunan, memang menunjukkan bahwa program ini diakses,
tetapi sekaligus menjadi konfirmasi atas masifnya gelombang PHK. Di sisi lain,
banyak pekerja yang seharusnya berhak justru gagal mengajukan klaim. Penyebab
utamanya adalah syarat administratif yang rumit dan memberatkan, terutama
kewajiban untuk menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikelola BPJS Kesehatan. Syarat ini menjadi jebakan birokrasi yang mengabaikan
realitas bahwa banyak pekerja, terutama di perusahaan kecil, seringkali
mengalami tunggakan iuran JKN bukan karena kelalaian pribadi, melainkan karena
masalah administratif atau finansial di tingkat perusahaan. Lebih jauh lagi,
program JKP secara fundamental eksklusif karena hanya mencakup pekerja di
sektor formal, meninggalkan jutaan pekerja informal yang notabene paling rentan
terhadap guncangan ekonomi tanpa perlindungan sama sekali. Terdapat pula
kekhawatiran serius mengenai keberlanjutan fiskal dana JKP jika tren PHK massal
terus berlanjut tanpa ada perbaikan fundamental di pasar kerja.
Secara lebih kritis, program JKP ini dapat dipandang sebagai subsidi terselubung bagi perusahaan. Dengan adanya JKP yang menanggung sebagian beban finansial pekerja pasca-PHK, "biaya sosial" bagi perusahaan untuk melakukan pemecatan menjadi lebih rendah. Hal ini berpotensi menciptakan moral hazard, di mana perusahaan menjadi lebih mudah mengambil keputusan PHK karena mengetahui bahwa dampaknya terhadap pekerja sebagian telah dialihkan dan ditanggung oleh negara melalui dana BPJS Ketenagakerjaan. Pada akhirnya, JKP yang dirancang sebagai jaring pengaman bagi pekerja, justru berisiko melanggengkan siklus PHK itu sendiri jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang kuat untuk mendorong retensi pekerja.
1.4. Tinjauan Keadilan
Sosial dalam Bingkai Keindonesiaan dan Keislaman
Persoalan ketenagakerjaan ini pada hakikatnya adalah
persoalan keadilan yang menyentuh fondasi filosofis dan yuridis bangsa. Pasal
27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa
"tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan". Realitas badai PHK, meluasnya praktik kerja kontrak
yang tidak menentu, dan upah yang tidak layak merupakan bentuk pengingkaran
terhadap amanat konstitusional tersebut. Lebih dari itu, Sila kelima Pancasila,
"Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," menuntut negara
untuk secara aktif menciptakan kebijakan yang melindungi kelompok-kelompok
rentan, termasuk kaum buruh, dari eksploitasi dan ketidakpastian ekonomi.
Perspektif Islam memperkuat mandat keadilan ini dengan landasan teologis yang kokoh. Islam memandang kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan sebagai bentuk ibadah dan perwujudan martabat manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardh). Prinsip keadilan (al-'adalah) dalam muamalah Islam menuntut adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara pemberi kerja dan pekerja. Hal ini mencakup pemberian upah yang layak dan tepat waktu sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering" serta larangan untuk membebani pekerja di luar kemampuannya. Konsep upah layak dalam Islam pun tidak hanya sebatas upah minimum formal, melainkan upah yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja beserta keluarganya secara manusiawi dan bermartabat (kifayah). Dengan demikian, setiap kebijakan negara yang mempermudah PHK dan menekan upah secara fundamental bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan baik oleh Pancasila maupun ajaran Islam.
1.5 Pernyataan Penutup:
Urgensi Sikap PMII di Tengah Krisis Ketenagakerjaan
Urgensi isu ini terletak pada penggerusan hak-hak paling
fundamental warga negara yang dijamin konstitusi. Badai PHK dan sistem kerja
yang prekarius bukan sekadar angka statistik, melainkan tragedi kemanusiaan
yang mengancam jutaan keluarga Indonesia. PMII harus memposisikan diri sebagai
garda terdepan dalam membela martabat kaum pekerja. Sikap PMII harus tegas:
menolak segala bentuk kebijakan yang mengorbankan keamanan kerja (job
security) demi dalih fleksibilitas pasar dan investasi. Perjuangan ini
adalah manifestasi dari komitmen PMII terhadap keadilan sosial, memastikan
bahwa pembangunan ekonomi tidak meninggalkan siapa pun di belakang, terutama
mereka yang paling rentan. Ini adalah panggilan untuk menerjemahkan nilai-nilai
Keislaman dan Keindonesiaan ke dalam aksi nyata pembelaan kaum tertindas (mustadh'afin).
Bagian II
Keadilan Fiskal yang
Tertunda: Reformasi Pajak untuk Siapa?
2.1. Anomali Rasio Pajak:
Kapasitas Fiskal yang Tergerus
Kesehatan fiskal sebuah negara tecermin dari kemampuannya
untuk mengumpulkan pendapatan, di mana rasio pajak terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) atau tax ratio menjadi indikator kuncinya. Dalam hal ini,
Indonesia menghadapi situasi yang sangat mengkhawatirkan. Tax ratio
menunjukkan tren penurunan yang konsisten dan tajam: dari 10,38% pada tahun
2022, turun menjadi 10,08% pada 2024, dan kemudian merosot drastis ke level
8,42% pada Semester I 2025. Proyeksi untuk keseluruhan tahun 2025 pun dipatok
pesimis, hanya di angka 10,03%.
Anomali ini menjadi semakin jelas ketika data tersebut
disandingkan dengan angka pertumbuhan PDB yang relatif stabil, yakni 5,12% pada
Kuartal II 2025. Terjadinya dekorelasi antara pertumbuhan ekonomi dengan
penerimaan pajak menandakan adanya masalah struktural yang serius. Seharusnya,
ketika ekonomi tumbuh, basis pajak melebar dan penerimaan negara meningkat.
Namun yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya. Hal ini mengindikasikan
bahwa keuntungan dari pertumbuhan ekonomi tidak sepenuhnya berhasil ditangkap
oleh negara dalam bentuk pajak. Pertumbuhan tersebut kemungkinan besar
terkonsentrasi di sektor-sektor yang sulit dipajaki, seperti ekonomi informal
dan ekonomi digital, atau dinikmati oleh korporasi-korporasi besar yang
memiliki kemampuan canggih untuk melakukan praktik penghindaran pajak.
Kondisi ini diperburuk oleh realisasi penerimaan pajak yang jauh dari target. Hingga Mei 2025, penerimaan pajak mengalami kontraksi sebesar 7,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga akhir Semester I 2025, realisasi penerimaan baru mencapai Rp978,3 triliun atau setara dengan 39,3% dari target APBN. Implikasi dari tergerusnya kapasitas fiskal ini sangat serius: kemampuan negara untuk membiayai layanan publik esensial seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan jaring pengaman sosial menjadi sangat terbatas. Akibatnya, negara terpaksa semakin bergantung pada sumber pembiayaan lain, terutama utang, yang bebannya akan diwariskan kepada generasi mendatang.
2.2. Tantangan Struktural: Shadow
Economy dan Penghindaran Pajak Korporasi
Rendahnya tax ratio Indonesia bukanlah masalah
temporer, melainkan berakar pada dua persoalan struktural yang kronis. Pertama,
masifnya sektor ekonomi informal atau shadow economy. Kajian dari Center
for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa sekitar 59%
dari total angkatan kerja di Indonesia beraktivitas di sektor informal.
Akibatnya, basis wajib pajak formal menjadi sangat sempit. Dari 145 juta
penduduk usia kerja, hanya sekitar 17 juta orang yang tercatat aktif membayar
pajak. Sektor informal, yang mencakup jutaan UMKM, pedagang, dan pekerja lepas,
secara de facto berada di luar jangkauan sistem perpajakan formal,
menyebabkan potensi penerimaan negara yang sangat besar menguap begitu saja.
Kedua, lemahnya kepatuhan pajak dari kalangan korporasi
besar. Praktik penghindaran pajak (tax avoidance) dan penggelapan pajak
(tax evasion) oleh korporasi diduga marak terjadi melalui skema-skema
canggih seperti transfer pricing, yakni praktik mengalihkan keuntungan
ke negara dengan tarif pajak rendah (tax haven). Sektor industri
berbasis sumber daya alam, yang merupakan salah satu motor utama ekonomi
Indonesia, disinyalir menjadi salah satu area yang paling rawan praktik
penghindaran pajak ini.
Kegagalan negara untuk menjangkau dua sumber potensi pajak terbesar ini menciptakan sebuah ketidakadilan fundamental. Selama ini, upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak cenderung menyasar kelompok yang sudah patuh dan mudah dilacak, yaitu kelas menengah dan pekerja formal. Sementara itu, "ikan-ikan paus" penerimaan negara (sektor informal yang masif dan korporasi besar yang licin) masih relatif sulit tersentuh. Ini bukan hanya sekadar masalah teknis administrasi perpajakan, tetapi lebih dalam lagi, ini adalah cerminan dari lemahnya kemauan politik (political will) untuk menegakkan aturan secara adil dan tanpa pandang bulu. Akibatnya, beban pajak secara tidak proporsional ditanggung oleh kelompok yang relatif lebih kecil dan lebih patuh, sementara potensi penerimaan terbesar dibiarkan hilang.
2.3. Struktur Beban Pajak:
Pergeseran Beban ke Pundak Pekerja
Analisis terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) 2025 mengungkap sebuah anomali kebijakan yang sangat signifikan
dan berpotensi memperparah ketimpangan sosial. Dalam dokumen APBN tersebut,
pemerintah secara mengejutkan menurunkan target penerimaan Pajak Penghasilan
(PPh) Badan (korporasi) sebesar 14%. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan, target
penerimaan PPh Pasal 21 (karyawan/pekerja) justru dinaikkan secara drastis
sebesar 46%.
Kebijakan ini secara eksplisit menunjukkan adanya
pergeseran beban fiskal dari pundak korporasi ke pundak kaum pekerja. Penurunan
target PPh Badan dapat diinterpretasikan sebagai sinyal "kelonggaran"
atau insentif yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha di tengah kondisi
ekonomi yang melambat. Namun, kenaikan target PPh 21 yang sangat tajam
mengindikasikan bahwa pemerintah berupaya menambal potensi kehilangan pendapatan
tersebut dengan cara mengintensifkan pungutan dari basis pajak yang paling
mudah diakses dan paling patuh: para pekerja formal yang gajinya dipotong
langsung oleh perusahaan.
Meskipun pemerintah juga memberikan insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor padat karya tertentu dengan batas penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan, kebijakan ini bersifat parsial, temporer, dan tidak mengatasi masalah fundamental pergeseran beban pajak. Rantai sebab-akibat dari kebijakan ini sangat jelas. Ketika penerimaan negara seret akibat masalah struktural, alih-alih melakukan reformasi fundamental yang sulit secara politik (seperti mengejar korporasi besar dan memperluas basis pajak ke sektor informal), pemerintah memilih jalan pintas dengan membebani kelompok yang sudah ada dalam sistem. Akibatnya, di tengah daya beli yang sudah tertekan oleh inflasi dan ancaman PHK, kaum pekerja formal justru harus menanggung beban negara yang lebih besar, sementara korporasi mendapatkan keringanan. Ini adalah sebuah resep kebijakan yang secara inheren tidak adil dan berpotensi memicu ketidakpuasan sosial yang lebih luas.
2.4. Perspektif Keadilan
Pajak dalam Bingkai Keislaman dan Keindonesiaan
Tuntutan "Susun Rencana Reformasi Perpajakan yang Lebih Adil" yang menjadi salah satu dari delapan tuntutan jangka panjang dalam gerakan "17+8" adalah cerminan dari aspirasi publik yang mendalam akan sebuah sistem fiskal yang tidak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan. Aspirasi ini selaras dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan ajaran Islam.
Sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," secara implisit mengamanatkan bahwa sistem pajak harus berfungsi sebagai instrumen utama untuk redistribusi kekayaan dan mengurangi ketimpangan. Sebuah sistem yang bebannya lebih berat ditanggung oleh kelas pekerja sementara memberikan kelonggaran bagi korporasi adalah sebuah antitesis dari prinsip keadilan sosial itu sendiri.
Dalam perspektif Islam, organisasi-organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada prinsipnya memandang pajak sebagai sebuah kewajiban warga negara (dharibah) yang dibenarkan syariat demi terwujudnya kemaslahatan umum (maslahah 'ammah), dengan syarat-syarat yang ketat. Syarat utamanya adalah keadilan. Pajak harus dipungut secara proporsional sesuai dengan kemampuan membayar (progresif) dan tidak boleh memberatkan kelompok masyarakat miskin dan rentan. Bahkan, terdapat pandangan tegas bahwa menarik pajak dari orang miskin hukumnya adalah haram. Konsep keadilan fiskal dalam Islam juga menekankan bahwa hasil pungutan pajak harus dialokasikan secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, kebijakan fiskal yang lebih membebani pekerja daripada pemilik modal secara fundamental bertentangan dengan prinsip keadilan yang menjadi inti dari ajaran Islam dan falsafah Pancasila.
2.5 Pernyataan Penutup:
Urgensi Sikap PMII dalam Reformasi Fiskal
Urgensi isu ini adalah ancaman terhadap kedaulatan fiskal negara dan kemampuannya untuk menyejahterakan rakyat. Sistem pajak yang tidak adil, yang membebani kaum pekerja dan kelas menengah sementara membiarkan korporasi besar dan shadow economy leluasa, adalah bentuk pengkhianatan terhadap kontrak sosial. PMII harus menjadi motor penggerak wacana reformasi perpajakan yang berkeadilan. Sikap PMII harus jelas: menuntut sistem pajak progresif yang berpihak pada keadilan sosial, memperluas basis pajak secara adil, dan memastikan setiap rupiah pajak digunakan untuk kemaslahatan umum. Ini adalah perjuangan untuk memastikan negara memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan amanat konstitusi tanpa harus mengorbankan rakyat kecil.
Bagian III
Ironi di Sektor Pendidikan:
Anggaran Besar, Kesejahteraan dan Akses Terabaikan
4.1. Alokasi vs. Realisasi:
Membedah Angka 20% APBN
Secara nominal, pemerintah telah memenuhi amanat
konstitusional untuk mengalokasikan 20% dari APBN untuk sektor pendidikan.
Dalam APBN 2025, total alokasi anggaran pendidikan mencapai angka fantastis
sebesar Rp724,3 triliun, meningkat dari outlook tahun 2025 yang sebesar Rp690
triliun. Namun, di balik angka besar ini, terdapat sebuah ironi dalam postur
dan tata kelola anggarannya.
Postur anggaran pendidikan menunjukkan adanya fragmentasi
yang luar biasa. Dari total Rp724,26 triliun, porsi terbesar, yaitu sebesar
Rp347,09 triliun (47,9%), dialokasikan dalam bentuk Transfer ke Daerah (TKD).
Sementara itu, pagu anggaran yang dikelola langsung oleh kementerian teknis
sangat terbatas. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen)
hanya mengelola Rp33,55 triliun (4,63%), dan Kementerian Pendidikan Tinggi,
Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sebesar Rp57,68 triliun (7,96%). Sisa
anggaran tersebar di berbagai kementerian/lembaga lain dan pos belanja non-K/L
yang target peruntukannya seringkali tidak terencana dengan jelas.
Angka 20% APBN ini, dengan demikian, menciptakan sebuah "ilusi anggaran besar". Meskipun realisasi anggaran hingga Semester I 2025 diklaim sebagai yang tertinggi dalam lima tahun terakhir , besarnya alokasi nasional tidak secara otomatis berbanding lurus dengan dampak nyata yang dirasakan di tingkat satuan pendidikan. Desentralisasi anggaran pendidikan melalui TKD dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seringkali menghadapi masalah serius dalam implementasinya. Kapasitas perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan di tingkat daerah yang bervariasi, ditambah dengan prosedur birokrasi yang panjang, sering menyebabkan keterlambatan pencairan dan pemanfaatan dana yang tidak efisien. Akibatnya, masalah-masalah kronis di sektor pendidikan seperti rendahnya kesejahteraan guru, sarana prasarana yang tidak memadai, dan kualitas pembelajaran yang stagnan tidak kunjung terselesaikan, bukan karena kekurangan uang secara absolut, melainkan karena masalah fundamental dalam tata kelola, distribusi, dan pengawasan alokasi anggaran yang sangat besar tersebut.
4.2. Potret Tenaga
Pendidik: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Terabaikan
Di tengah gemerlap angka anggaran pendidikan yang besar,
realitas kehidupan para tenaga pendidik, terutama guru honorer, masih jauh dari
kata sejahtera. Terdapat disparitas yang sangat tajam antara guru berstatus
Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(PPPK) dengan jutaan guru honorer yang menjadi tulang punggung pendidikan di
banyak daerah. Data menunjukkan gaji guru honorer di berbagai provinsi
seringkali masih berada jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR), berkisar
antara Rp3 hingga Rp4 juta di beberapa provinsi, dan bahkan bisa jauh lebih
rendah di tingkat kabupaten/kota yang kemampuan fiskalnya terbatas.
Meskipun pemerintah telah mengalokasikan program prioritas seperti Aneka Tunjangan Guru Non-ASN sebesar Rp11,54 triliun untuk sekitar 478.694 guru, jumlah ini jelas tidak mencukupi untuk menjangkau seluruh guru honorer yang jumlahnya mencapai jutaan orang. Pemerintah sendiri mengakui adanya masalah kesejahteraan guru dan dosen yang rendah, namun solusi yang ditawarkan hingga saat ini masih bersifat parsial dan belum menyentuh akar persoalan status dan penggajian yang adil. Negara tidak bisa berharap untuk mencapai lompatan kualitas pendidikan nasional jika pilar utamanya, yaitu para guru, masih harus berjuang dengan masalah kesejahteraan dasar. Gaji yang tidak layak tidak hanya berdampak pada kehidupan pribadi guru, tetapi juga secara langsung memengaruhi motivasi, fokus mengajar, dan kemampuan mereka untuk melakukan pengembangan profesionalisme, yang pada akhirnya akan merugikan kualitas pembelajaran yang diterima oleh para siswa.
4.3. Evaluasi Wajib Belajar dan "Pendidikan Gratis"
Pemerintah terus menunjukkan komitmennya untuk memperluas akses pendidikan dengan merencanakan program Wajib Belajar 13 Tahun, yang akan mencakup Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026. Namun, rencana ambisius ini harus dihadapkan pada evaluasi kritis terhadap implementasi program wajib belajar yang sudah berjalan. Program Wajib Belajar 9 dan 12 tahun hingga saat ini masih menghadapi banyak kendala fundamental di lapangan, seperti keterbatasan sarana dan prasarana, kekurangan guru yang berkualitas dan merata, serta faktor kemiskinan keluarga yang memaksa anak untuk putus sekolah dan bekerja.
Data Angka Putus Sekolah (APS) menunjukkan masalah yang masih serius. Pada tahun 2023, APS di jenjang SD/sederajat sebesar 0,11%, namun melonjak di jenjang SMP/sederajat menjadi 0,98% dan SMA/sederajat 1,03%, dengan angka tertinggi terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Data BPS juga mencatat ada sekitar 4,2 juta anak usia sekolah di Indonesia yang tidak bersekolah. Sementara itu, Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk jenjang Sekolah Menengah (16-18 tahun) masih berada di angka 90,94%, yang berarti hampir 10% anak pada kelompok usia tersebut tidak dapat mengakses pendidikan menengah.
Fakta ini mengungkap bahwa program "pendidikan gratis" yang selama ini digaungkan melalui Dana BOS tidaklah sepenuhnya gratis. Meskipun program ini berhasil menghapuskan biaya SPP, masih banyak biaya "tersembunyi" yang harus ditanggung oleh orang tua, seperti biaya seragam, buku, transportasi, dan kegiatan ekstrakurikuler. Bagi keluarga miskin, biaya-biaya non-SPP ini menjadi penghalang utama yang menyebabkan anak-anak mereka putus sekolah, terutama di jenjang pendidikan menengah. Janji "pendidikan gratis" menjadi tidak bermakna jika tidak diiringi dengan intervensi kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi hambatan-hambatan ekonomi di luar biaya SPP.
4.4. Amanat Konstitusi dan
Prinsip Maslahah Mursalah
Persoalan akses dan kualitas pendidikan ini pada dasarnya
adalah tentang penunaian janji konstitusi dan pemenuhan kemaslahatan publik.
Pasal 31 UUD 1945 secara tegas dan tidak ambigu menyatakan bahwa "setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan" dan "pemerintah wajib
membiayai pendidikan dasar". Angka putus sekolah yang masih tinggi dan
jutaan anak yang tidak dapat mengakses pendidikan adalah bukti nyata bahwa
negara belum sepenuhnya berhasil menunaikan kewajiban konstitusionalnya
tersebut.
Dalam kerangka berpikir hukum Islam (ushul fiqh), kebijakan pendidikan dapat dianalisis melalui prinsip maslahah mursalah. Prinsip ini memungkinkan penetapan sebuah kebijakan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan umum (maslahah 'ammah) yang tidak diatur secara spesifik oleh dalil nash (Al-Qur'an dan Hadis). Pendidikan yang berkualitas, merata, dan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali adalah bentuk maslahah 'ammah yang paling fundamental bagi kemajuan sebuah bangsa dan peradaban. Oleh karena itu, segala kebijakan yang terbukti menghambat terwujudnya kemaslahatan ini, seperti alokasi anggaran yang tidak efisien, pengabaian terhadap kesejahteraan guru, atau sistem yang menciptakan biaya tersembunyi bagi keluarga miskin harus dievaluasi dan direformasi demi mewujudkan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih utama.
4.5 Pernyataan Penutup:
Urgensi Sikap PMII dalam Isu Pendidikan
Urgensi isu ini adalah masa depan bangsa yang dipertaruhkan. Anggaran pendidikan yang besar menjadi sia-sia jika tidak sampai ke akar rumput untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan membuka akses seluas-luasnya bagi anak bangsa. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita "mencerdaskan kehidupan bangsa". PMII, sebagai organisasi yang lahir dari rahim intelektual, harus menjadi pengawas paling kritis terhadap tata kelola anggaran pendidikan. Sikap PMII adalah menuntut agar alokasi 20% APBN tidak hanya menjadi pemenuhan formalitas konstitusional, tetapi harus diterjemahkan menjadi kebijakan yang radikal untuk mengangkat martabat guru dan memastikan tidak ada satu pun anak Indonesia yang tertinggal karena alasan ekonomi.
Bagian IV
Prahara Konstitusi:
Amandemen UUD 1945 di Persimpangan Jalan
5.1. Peta Wacana Amandemen
Kelima
Wacana untuk melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945
kembali mengemuka dan memanaskan ruang publik. Isu sentral yang menjadi pemicu
utama adalah gagasan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) dalam format baru yang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Wacana
ini membelah opini publik dan elite politik ke dalam beberapa kutub pemikiran.
Pertama, kelompok yang mendukung amandemen dengan argumen bahwa UUD 1945 hasil
empat kali perubahan sebelumnya masih menyisakan berbagai persoalan dan
ambiguitas, sehingga perlu disempurnakan. Kedua, kelompok yang menolak
amandemen dan ingin mempertahankan konstitusi yang berlaku saat ini,
menganggapnya sudah cukup memadai. Ketiga, kelompok yang lebih radikal, yang
menghendaki kembalinya Indonesia ke naskah asli UUD 1945 sebelum amandemen.
Perdebatan ini mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap praktik ketatanegaraan saat ini, di mana arah pembangunan nasional dianggap tidak memiliki haluan yang jelas dan konsisten antar periode pemerintahan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa agenda amandemen "terbatas" untuk PPHN ini dapat menjadi "kuda Troya" bagi kepentingan politik lain yang lebih besar, seperti perubahan masa jabatan presiden atau pengembalian sistem ketatanegaraan ke era pra-reformasi yang sentralistik.
5.2. Analisis Politik dan
Prosedural
Secara prosedural, mekanisme perubahan UUD 1945 diatur
secara ketat dalam Pasal 37. Proses ini memberikan kewenangan eksklusif kepada
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang mencerminkan arsitektur "MPR
heavy" dalam hal perubahan konstitusi. Prosedur tersebut meliputi: (1)
Usul perubahan diajukan oleh minimal 1/3 dari total anggota MPR; (2) Sidang
paripurna untuk membahas usulan harus dihadiri oleh minimal 2/3 anggota MPR;
dan (3) Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD 1945 harus disetujui oleh
minimal 50% plus satu dari seluruh anggota MPR.
Secara politik, ini berarti wacana amandemen membutuhkan konsolidasi dan dukungan politik yang sangat solid, terutama dari fraksi-fraksi partai politik di DPR dan kelompok DPD di MPR. Dominasi MPR dalam proses ini menjadi sebuah paradoks, mengingat pasca-amandemen, kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, melainkan setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Kedaulatan rakyat tidak lagi terpusat di MPR, melainkan didistribusikan ke berbagai lembaga negara sesuai amanat konstitusi. Oleh karena itu, setiap upaya amandemen harus melalui proses politik yang kompleks dan memerlukan konsensus luas untuk mencapai kuorum yang disyaratkan.
5.3. Urgensi dan Implikasi
PPHN
Argumen utama yang mendukung PPHN adalah perlunya
kesinambungan pembangunan nasional jangka panjang yang tidak terputus oleh
pergantian rezim setiap lima tahun. Namun, gagasan ini mengandung paradoks
fundamental dalam sistem presidensial yang berlaku saat ini. Pasca-amandemen,
presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, bukan kepada MPR. Dengan demikian, MPR tidak lagi memiliki wewenang
untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
Jika PPHN ditetapkan oleh MPR, tidak ada mekanisme sanksi yang efektif jika presiden tidak melaksanakannya. Hal ini berpotensi membuat PPHN menjadi dokumen politik tanpa kekuatan hukum yang mengikat, atau sebaliknya, jika dipaksakan, akan mengganggu sistem presidensial dan menariknya ke arah sistem parlementer di mana eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif. Lebih jauh, para penentang PPHN berpendapat bahwa fungsi haluan negara sesungguhnya telah diakomodasi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dengan demikian, urgensi untuk menghidupkan kembali PPHN melalui amandemen konstitusi menjadi sangat dipertanyakan.
5.4. Tinjauan Kritis dalam
Bingkai Keindonesiaan dan Keislaman
Konstitusi, dalam perspektif Keindonesiaan, adalah
perwujudan dari kontrak sosial dan kesepakatan luhur (consensus) seluruh
komponen bangsa. Perubahan terhadapnya tidak boleh dilakukan secara parsial,
tergesa-gesa, atau hanya untuk melayani kepentingan politik sesaat. Amandemen
harus merupakan sebuah kebutuhan objektif yang lahir dari evaluasi mendalam dan
partisipasi publik yang luas untuk menyempurnakan sistem demi terwujudnya
cita-cita negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Dari perspektif Keislaman, konstitusi dapat dipandang sebagai sebuah perjanjian agung (mitsaqan ghalizha) yang mengikat seluruh warga negara untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (maslahah 'ammah). Oleh karena itu, setiap upaya untuk mengubahnya harus didasarkan pada niat untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar, bukan sebaliknya. Wacana amandemen yang hanya berfokus pada penambahan kewenangan satu lembaga tanpa kajian komprehensif terhadap dampaknya pada keseluruhan sistem berisiko merusak keseimbangan (checks and balances) yang telah dibangun dan berpotensi menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar. Pembaharuan hukum tata negara harus bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum, demokrasi, dan perlindungan hak asasi manusia, bukan melemahkannya.
5.5 Pernyataan Penutup:
Urgensi Sikap PMII dalam Mengawal Konstitusi
Urgensi isu ini adalah potensi pembajakan konstitusi untuk kepentingan politik jangka pendek yang dapat mengorbankan prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi. Amandemen UUD 1945 bukanlah persoalan sepele; ia menyangkut arah dan masa depan bangsa. PMII harus memposisikan diri sebagai penjaga gerbang konstitusi (guardian of the constitution). Sikap PMII harus kritis dan waspada, menolak setiap upaya amandemen yang tidak didasari oleh kajian akademis yang komprehensif, tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, dan berpotensi mengembalikan Indonesia ke sistem otoritarianisme. PMII wajib mengawal agar setiap perubahan konstitusi benar-benar bertujuan untuk memperkuat kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, bukan untuk melanggengkan kekuasaan elite.
Bagian VI
Rekomendasi Kebijakan
Kritis-Transformatif
Berdasarkan analisis komprehensif terhadap isu-isu
krusial yang menjadi kegelisahan publik, PMII merumuskan serangkaian
rekomendasi kebijakan yang bersifat kritis-transformatif. Rekomendasi ini
menekankan adanya keterkaitan sistemik antar-isu: reformasi fiskal yang adil
akan meningkatkan kapasitas negara untuk mendanai pendidikan berkualitas dan
jaring pengaman sosial yang lebih baik; penegakan hukum yang berintegritas akan
mengurangi kebocoran anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk
program-program pro-rakyat; dan perlindungan tenaga kerja yang kuat akan
menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas sosial. Rekomendasi ini ditujukan
secara spesifik kepada Pemerintah selaku eksekutif dan DPR RI selaku
legislatif.
Untuk Pemerintah
(Eksekutif)
- Bidang
Ketenagakerjaan:
a.
Membentuk
Satuan Tugas Khusus Penanganan PHK Lintas Kementerian yang bertugas memitigasi
dampak PHK massal, memfasilitasi dialog antara pengusaha dan serikat buruh,
serta memastikan hak-hak pekerja yang ter-PHK terpenuhi secara penuh.
b.
Melakukan
Revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) turunan UU Cipta Kerja, khususnya yang mengatur
tentang alih daya (outsourcing), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),
dan formula pesangon, dengan tujuan utama untuk memperkuat perlindungan dan
keamanan kerja (job security) bagi pekerja.
c.
Memperluas
Cakupan dan Menyederhanakan Prosedur Klaim JKP, termasuk menghapus syarat
keterkaitan dengan kepesertaan aktif JKN dan mengkaji kemungkinan perluasan
program untuk menjangkau pekerja di sektor informal secara bertahap.
- Bidang
Fiskal dan Perpajakan:
a.
Merumuskan
Ulang Arah Reformasi Perpajakan yang berfokus pada keadilan (tax justice) dengan
memprioritaskan perluasan basis pajak (menjangkau shadow economy dan
ekonomi digital) serta penegakan hukum yang tegas terhadap praktik penghindaran
pajak oleh korporasi.
b. Membatalkan Rencana Kenaikan Target PPh Pasal 21 yang Tidak Proporsional dalam APBN dan mengkaji ulang struktur target penerimaan pajak agar beban fiskal tidak dialihkan secara tidak adil kepada kelas pekerja.
3. Bidang Pendidikan:
a.
Melakukan
Audit Nasional terhadap Efektivitas Penggunaan Dana BOS dan TKD Pendidikan untuk mengidentifikasi
inefisiensi, kebocoran, dan merumuskan ulang mekanisme penyaluran serta
pengawasan agar lebih tepat sasaran dan akuntabel.
b.
Merumuskan
Kebijakan Afirmatif untuk Peningkatan Kesejahteraan dan Status Guru Honorer
secara Nasional,
dengan target penyelesaian yang jelas dan terukur, sebagai prasyarat utama
untuk peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Untuk Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) RI
- Fungsi
Legislasi:
a.
Segera
Memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas Prioritas dan membahasnya secara
terbuka, transparan, serta partisipatif untuk memastikan pengesahannya dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
b.
Memulai
Proses Revisi UU Cipta Kerja, khususnya Klaster Ketenagakerjaan, dengan melibatkan
partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari serikat
pekerja/serikat buruh untuk menghasilkan regulasi yang lebih adil dan
berimbang.
c.
Menginisiasi
Revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia,
dengan fokus utama untuk memperkuat lembaga pengawas eksternal seperti
Kompolnas dengan memberikan kewenangan yang lebih kuat dan mengikat.
- Fungsi
Anggaran:
a.
Melakukan
Peninjauan Ulang dan Realokasi terhadap Anggaran Polri, dengan mengurangi porsi
anggaran untuk belanja almatsus yang bersifat represif dan mengalihkannya ke
program-program peningkatan profesionalisme SDM, pelatihan HAM, dan penguatan
fungsi pelayanan masyarakat.
b.
Memperketat
Pengawasan terhadap Alokasi dan Penggunaan TKD untuk Sektor Pendidikan melalui mekanisme rapat
dengar pendapat dengan pemerintah daerah dan audit kinerja oleh BPK, untuk
memastikan anggaran pendidikan benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas
di tingkat sekolah.
- Fungsi
Pengawasan:
a.
Memanggil
Kapolri untuk meminta pertanggungjawaban atas serangkaian kasus kekerasan
aparat dan memastikan adanya proses hukum yang transparan dan adil terhadap
para pelaku, termasuk di level komando.
b.
Membentuk
Panitia Khusus (Pansus) untuk Mengevaluasi Implementasi UU Cipta Kerja dan dampak
sosial-ekonominya secara komprehensif, sebagai dasar untuk melakukan revisi
legislatif yang berbasis bukti dan aspirasi publik.